Pages

Senin, 03 Juni 2019

Tentang Agama


Menarik kalau menyimak isu agama yang kian merebak di masyarakat jelang pemilu (sampai akhir pemilu bahkan ya). Soalnya saya sendiri kalau ditanya agama apa, ada banyak momen canggung. Satu, buat apa ditanya agama saya apa? Moonmaap nih memang situ HR yang ngurus bagi bagi THR? Dua, saya percaya semua agama. Nah loh. 

Intinya saya percaya sebenarnya Tuhan cuma satu, agamanya terserah mau pilih yang mana. Kalau dianalogikan saya mau ke Yogyakarta, bisa lewat jalur Pantura (Pantai Utara) yang banyak jalan tol, cepat sampai, tetapi pemandangannya biasa aja. Jalur ke dua saya lewat Pansela (Pantai Selatan), jalurnya lebih ribet dibanding Pantura yang sudah banyak tol, tetapi pemandangannya bagus banget. 

Pada akhirnya mau lewat Pantura atau Pansela, saya bakal sampai Yogyakarta kan? Selama di perjalanan saya juga harus mematuhi aturan lalu lintas dan menyetir dengan tertib. Jadi kenapa dibuat ribet sih? 

"Eh lu mau lewat Pansela? Udah sih Pantura aja," 

"Iya boleh aja sih, tapi lu yang nyetirin ya. Bayarin semua tol sama bensinnya. Bagaimana, deal?" 

Lantas terdiam... 

Agama itu juga urusan personal manusia dengan Tuhan. Buat apa kita peduli doa dia sampai atau nggak ke Tuhan. Pahalanya cukup atau nggak?

Eh jangan salah saya nggak apatis soal agama, tapi menurut saya pikiran-pikiran yang kelewat ribet, ngurusin agama orang, pahalanya berapa, sungguh lah bukan hal prioritas. 

Ada yang lebih penting daripada ngomongin agama yang notabenenya di luar jangkauan indra, yaitu pengalaman nyata di dunia.

Kembali lagi ke awal, ketika saya jawab ke mayoritas orang Indonesia saya percaya dengan semua agama, rata-rata masih menunggu jawaban saya yang berikut. Nggak bisa pakai titik, selesai di sana saja. 

Saya benar-benar ditanya dan ditunggu untuk jawab agama yang saya anut. Bahkan ada undang-undang yang mengatur agama atau kepercayaan yang dapat dipeluk oleh orang Indonesia. Meskipun pada akhirnya agama-agama di Indonesia tampak lebih superior dibanding kepercayaan-kepercayaan nenek moyang Indonesia. 

Saya nggak kebayang kalau saya jawab "Saya Sunda Wiwitan," atau "Saya menganut Kaharingan nih,"  Jadi kepikiran kapan kapan mau buat eksperimen sosial, hahaa. 

Secara kalau saya jawab agama saya "Buddha" saja banyak yang bingung. Hahahaa. Agama dari mana gerangan itu? Siapa yang disembah? Rumah ibadahnya apa? Kitab sucinya bahasa apaan?

Ya bingung pasti, karena orang Indonesia sedari kecil bahkan sedari lahir, sudah membawa identitas agama orang tuanya. Saya kalau dari bayi bisa ngomong mungkin bilang "Oh mama, oh papa, biarkan saya pilih agama saya sendiri," 

Untungnya karena memang ajaran agama di keluarga saya mudah disusupi alias lemah, jadilah orang tua saya membebaskan saya belajar agama apapun. 

Sedari kecil saya ikut perayaan Natal ke gereja biar dapat besekan, ke masjid buat ngadem dan melihat arsitektur yang luar biasa waktu traveling, terlibat dalam diskusi intelektual antar agama sama teman-teman (saya sebut intelektual karena di antara kami tidak ada yang merasa agamanya lebih baik dibanding agama lainnya), dan baca buku serta kitab suci berbagai agama.    

Pada akhirnya saya tidak bisa dan tidak diperbolehkan di Indonesia melabeli diri saya sebagai agnostik. Saya harus memilih agama untuk urusan administrasi dan tidak dikucilkan dari masyarakat. 

Saya akhirnya memilih agama Buddha. Kembali lagi bukan karena agama ini yang terbaik, cuma ini yang termudah buat saya :DD.  Saya lihat agama ini minim ritual, lebih seperti gaya hidup, dan tata cara hidup bermasyarakat yang baik (alasan macam apa itu). 

Nggak tahu deh kalau besok atau lusa, apa kapan hari agama saya berubah. Secara nikah beda agama aja urusannya ribet di Indonesia. Lagian Tuhan itu menurut saya adalah perjalanan manusia untuk mencari apa yang diyakininya. Jadi yang namanya perjalanan bisa saja belok kanan, belok kiri, muter balik, atau stop dulu nih, ngaso minum es mambo. 

Senin, 26 Februari 2018

25 Tahun Hidup Akhirnya Coba Solo Traveling



Hei kamu! (hatiku dag dig dug saat aku melihatmu) Apa kabaaaar? *sok a6* Awal Februari saya untuk pertama kalinya (akhirnya) travelling sendirian. Sebenarnya sudah lama ingin coba solo travelling nazar musdalifah saya sebelum lewat 25 tahun saya harus coba jalan-jalan seorang diri.

Tujuan solo travelling saya di awal itu sebenarnya Yogyakarta (saya pernah dilirik aneh sama teman yang lahir dan besar di Yogyakarta pas ngomong ini). Namun gak kesampaian, karena tahun kemarin saya justru dua kali ke Yogyakarta ramai-ramai sama teman yang asyik asyik.


Nah tibalah di suatu hari bulan Januari, ada PR yang chat saya kalau saya menang togel lomba tulisan, yang mana tulisannya sudah lama dan saya lupa. Hadiahnya tiket ke Bali PP Batik Air. Senanglah hati awak. Cuma saya bingung, saya sebenarnya harus ke Bali dua kali dalam rentang waktu dekat sama tiket hadiah itu. Saya tanya bisa dimundurin tanggalnya atau kasih keluarga?


Kata PRnya bisa kasih keluarga, tetapi mama saya dikasih nggak mau, katanya garing amat pergi sendiri :') Sayang tanggalnya juga tidak bisa mundurin. Padahal niat saya sudah matang, karena nggak ada yang mau, tiketnya bakal saya mundurin ke Maret. Pakai untuk transit ke Sumba dari Ngurah Rai. Apa boleh buat, mungkin ada waktu yg lebih baik ke Sumba.


Lantas saya pakai itu tiket dan tujuannya adalah Ubud. Kenapa Ubud? Ada banyak alasannya, sebanyak alasan netizen yang sering bilang berita media beneran hoaks *lah kok dendam


Ini alasannya:


1. Pernah mampir di Ubud, tetapi belum pernah nginap di sana. Suka aja suasana di sana, tenang, nggak banyak bule pakai kaos Bir Bintang.


2. Ubud itu nggak luas tetapi padat, banyak obyek wisata dan kafe yang bisa dikunjungi jalan kaki. (Rahasia umum kalau saya nggak bisa mengendari kendaraan selain otopet. Sepeda aja oleng ya ampun. Terus sekarang nggak jadi rahasia umum lagi karena diungkap dengan mureh)


3. Ingin nonton tarian khas Bali (Saya suka banget nonton tarian daerah. Bahkan dangdut koplo saya juga suka nontonnya, terutama nonton kelakuan penontonnya)


4. Ingin mencari pangeran Ubud. Impian saya menjadi Happy Salma junior (ini halusinasi kebanyakan ngirup knalpot).


Jadi akhirnya sampailah saya di Bali 1 Februari 2018. Sampai di Ngurah Rai saya ke Mal Galleria DFS trus naik shuttle bus Kura-Kura ke Ubud selama dua jam.


Nah di perjalanan pergi ini saya ketemu kerluarga turis China Mainland (China daratan, RRT) terdiri dari ibu, bapak, dan anak. Selama dua jam dia ngomong dengan bacot luar biasa, ingin rasanya menadah tabung reaksi ke bawah mulutnya. Untuk meneliti dari mana datangnya kemampuan bacot tersebut.


Pas pulang tanggal 3 Februari 2018 mau pulang, eh saya semobil lagi! Saya langsung salah tingkah dalam hati komat kamit, percaya kalau karma itu terjadi sangat dekat. Untungnya nggak tahu kenapa mereka diam seperjalanan dari Ubud ke Denpasar *sujud syukur.


Di sisi lain saya salut sama keluarga ini. Turis China Mainland terkenal nggak berani pergi sendiri karena kendala bahasa. Dengan bahasa inggris yang seadanya, keluarga ini berani dan bisa pergi sendiri tanpa tur. Keberanian yang patut dicontoh.


Lanjut! Solo travelling apa yang saya perbuat?


Ya kayak lagu Caca Handika, "Makan, makan sendiri. Tidur, tidur sendiri". Sebenarnya saya sudah lama biasa dengan konsep kesendirian. Apalagi dulu lama sendiri (lah napa curhat dah). Saya mulai terbiasa sendiri sejak jadi jurnalis online, karena dituntut mandiri kemana mana sendiri dan cepat dalam mengirim berita (yang mana bisa duduk di resto atau pojokkan tembok sendiri buat ngetik). 


Buat banyak orang makan sendiri, nonton sendiri, tidur sendiri di hotel mungkin terasa aneh. Buat saya melakukan aktivitas sendiri itu sebenarnya tanda kita menerima diri sendiri. Masa se-enggak nyaman itu dengan diri sendiri sampai nolak beraktivitas sendiri? Cuma kalau ada teman, tetap saya milih beraktivitas sama teman. (Serius soalnya saya bukan Hachi anak yang sebatang kara...)


Nah dari solo travelling ini saya banyak mengambil hikmah dan mengenal diri sendiri juga. Misal ternyata saya anaknya malas bergerak, suka banget tidur (ini kayaknya teman dekat dan keluarga, juga sudah tahu semenjak saya SD).


Oleh karena alasan itu juga saya merasa nggak gitu cocok solo travelling. Kalau nggak ada rekan perjalanan, saya kayak nggak ada motivasi. Nggak ada rasa nggak enakan harus jalan karena ada kawan yang mau jalan. Saya juga sering punya pikiran random yang suka banget jadi bahan omongan ke teman. Jadi pas nggak ada teman diskusi random itu saya merasa kehilangan. (Catatan temannya harus teman dekat, kalau sama orang baru kenal saya biasanya lebih suka diam).


Saya juga belajar kalau ternyata saya suka banget lihat hal yang berbau kebudayaan, motret hewan (saya lebih suka motret primata daripada manusia), belajar mengatur waktu, lebih terencana, sekaligus menikmati saat yang sedang terjadi.


Solo traveling juga 'memaksa' saya buat mau kenal dan lebih ramah sama pejalan lain. Saya beruntung banget bisa ketemu pemilik dan staf penginapan yang ramah, ketemu abang gojek yang kasih nomor hp, sekiranya nggak dapat gojek untuk balik dari tengah sawah entah berantah waktu malam, ketemu kakek dari Inggris yang tinggal di Jakarta lima tahun, terus dia rekomendasin ke pura terpencil, dan petugas di Monkey Forest yang antusias diajak ngobrol.


Setiap momen dan pertemuan itu adalah salah satu bentuk syukur sih ya, nggak dalam travelling tetapi dalam hidup juga.


Nah di akhir saya menyimpulkan rata-rata orang yang travelling itu sebenarnya dilandasi dua hal. Dia mencari atau dia sedang melarikan diri.


Saya melarikan diri waktu di Banda Neira, di Ubud saya mencari. Mencari jati diri maunya apaan, soalnya banyak bener maunya. Darah muda gitu deh kalau kata Bang Rhoma.


Coba kamu tanya sama diri sendiri. Perjalanan selanjutnya kamu mau mencari sesuatu atau melarikan diri dari sesuatu?


CAP-CUS *saya lupa foto diri sendiri waktu solo travelling, satu-satunya foto selfie di Monkey Forest yang gagal ini



Monyetnya waspada, pasti kena ajaran Bang Napi. Waspadalah! Waspadalah!


Once in a year go someplace you've never been berfore-Dalai Lama


Kalau duitmu masih cukup dan masih single, travellinglah sesering mungkin-Silvi 

Minggu, 07 Januari 2018

Di Akhir Perjalanan

Di akhir perjalanan
Ada dua anak manusia
Yang satu mencoba jujur dengan dunia
Yang satu lagi mencoba menerima kenyataan dunia
Pahit memang
Keduanya menangis
Sudah selesai
Keduanya saling mendoakan 
Mereka lempar senyum
Dalam sakit yang menorehkan luka
Namun perjalanan masih harus berlanjut
Luka kan sembuh oleh waktu
Keduanya berkemas
Perjalanan ada di depan mata
Dengan rute berbeda
Terima kasih kata dua anak manusia
Pada takdir, waktu, dan pertemuan

Ternyata rasanya....
*sambil dengarin Endank Soekamti-Sampai Jumpa

Rabu, 03 Januari 2018

Tembok Lara

Ada satu tembok yang paling saya takuti, sekaligus kasihani
Tembok ini tembok paling kuat
Saksi bisu puluhan ribu orang yang menangis
Di hadapannya silih berganti tubuh terbaring tak lagi bernyawa
Diam bergeming
Disaksikannya jiwa jiwa yang mencoba ikhlas, marah, putus asa
Dalam titik terendah kehidupan ia ada
Diciptakan untuk menampung lara
Menjadi sekat antara hidup dan mati yang sebenarnya tipis


Setelah saya menulis ini, saya bayangkan jika tembok rumah duka sekuat ini, bagaimana Tuhan, yang biasa hadir di titik terendah hidup manusia.

Selasa, 29 November 2016

Bedanya Moana dengan Putri Disney Lain



Ketika selesai mengunyah kulit fried chicken, tiba-tiba saya dapat wangsit untuk menonton Moana. Jadilah saya menonton Moana, yang sebenarnya jenis film yang paling saya hindari buat nonton di bisokop. Buat saya nonton film Disney dengan tema putri di bioskop sama aja rugi.

Ternyata keputusan saya nonton Moana hari itu tepat, soalnya Moana ini berbeda dengan film putri Disney. Ada banyak pesan yang disampaikan oleh film ini, secara tersirat. Ini kesan yang saya tangkap setelah menonton film Moana: 

1. Moana gak menye menye

Disney boleh diacungi jempol kali ini. Ia menempatkan perempuan yang diwakili Moana sebagai sosok yang gak menye menye, lenje, atau apapun itu. Feminisme kelihatan betul disini, karena Moana punya karakter pemberani, rela berkorban, ga mudah menyerah, jago bela diri, cepat belajar, dan gak moodyan. Hebatnya lagi Moana bahkan ditunjuk jadi the next kepala suku dan semua rakyatnya setuju. 

Uniknya sosok Maui justru lebih grumpy, moody, narsis, dan sering sarkas. Tenang Maui tetap keren, karena dia tulus mengaku kalau Moana adalah penolongnya (pas adegan kepalanya hiu kakinya manusia).

Pada akhirnya dua karakter ini punya kekuatan yang seimbang dan butuh satu sama lain sebagai penyemangat dan penolong di saat susah. Bukan cuma ketusuk jarum terus dicium bagun atau dijemput dikasih sepatu kaca terus hilang semua penderitaan. 

2. Alam bisa marah
Te Fiti itu sebenarnya sosok alam yang ngamuk karena udah diapa-apain, alias diambil jantung hatinya. Sebenarnya sama kayak di dunia nyata, alam juga bisa marah kalau dirusak dengan berbagai bencana yang timbul setelahnya. 

3.Kepiting blink blink yang maruk

Kepiting blink blink entah siapa lah namanya mirip lambang keserakahan. Manipulator handal dengan cahayanya nipu ikan-ikan kecil terus dimakan. Tempat tinggalnya di alam monster sebenarnya sudah menggambarkan lingkungan yang menyeramkan dan kayaknya dia mager gitu ya? #Inisotoyabis, tapi satu yang saya suka dari kepiting blink-blink, suaranya bagus. 

4. Pembuktian ke orang tua 
Moana sebenarnya adalah pembuktian kalau anak bisa melakukan sesuatu sesuai mimpi dia meski orang tuanya gak ada yang dukung. 

5. Persepsi kecantikan yang baru

Gak harus berambut pirang, pinggang kecil, pantat bahenol, make up tebal buat cantik. Moana cantik dengan kulit coklat, rambut keriting, dan badan berisi. Jangan lupain tato yang banyak ditampilkan di film ini. sedikitnya membuat persepsi tato itu bukan rebel apalagi perlu ditakutin. 

6. Endingnya gak nikah

"Itu jadian ya berdua?" tanya saya sama teman yang duluan nonton. Jelas saya suudzon Hampir semua film putri Disney tamatnya nikah. Gak ngerti kenapa begitu, seakan akan nikah adalah akhir segalanya dan kehidupan akan lebih baik. Di Moana semua lebih wajar ketika dia pulang dan terus menjelajah mencari pulau baru. 


Sabtu, 01 Oktober 2016

Sedikit Gambaran Pendidikan di Papua



Bicara soal Papua memang kompleks. Isu Papua seperti timbul dan tenggelam di Indonesia, tak ada penyelesaian atau solusi yang tuntas untuk Papua. Saya tak akan bicara soal politik yang panas di Papua atau gerakan lain-lainnya. Karena saja jelas awam soal itu.

Tapi mari bicara soal pendidikan di Papua, yang sekilas saya lihat saat perjalanan saya bersama WWF Indonesia bulan Juni 2016. Walau sepintas, tapi begitu membekas untuk saya.

Di Papua, tepatnya di daerah kepulauan Yapen ada sekolah, tapi ya seadanya. Saya sebut seadanya karena jelas jauh dari kata layak. Kunjungan pertama saya ke sekolah SDN Aisau, distrik Rambausi, Kabuapten Kepulauan Yapen. Sekolah ini terletak di sebuah pulau, yang mana satu-satunya moda transportasi adalah lewat jalan laut alias kapal.

Bersama tim WWF bidang pendidikan, saya datang pada hari Selasa (13/6/2016). Saat itu sekolah diliburkan dalam rangka pasca ujian sekolah. Hanya ada tiga ruang kelas untuk enam tingkatan kelas. Satu kelas kemudian disekat dibagi dua menggunakan papan tipis yang dapat digeser.


Jadi saya tak terbayang seperti apa rasanya belajar di satu kelas yang dibagi dua, dengan tempat duduk dan meja yang tak jelas dimana rimbanya. Dalam satu ruang kelas hanya ada sekitar empat meja, dan kurang dari sepuluh bangku.

Saya kemudian berkeliling melihat fasilitas sekolah. Jangan mengharapkan fasilitas layaknya sekolah dasar di Pulau Jawa apalagi di Jakarta. Ruang guru dicampur dengan perpustakaan. Dengan buku-bukunya yang sudah layu.


Lantai tiap ruang disekolah hanya dilapisi semen, tak ada ubin atau keramik. Sedangkan lantai di ruang guru yang merangkap perpustakaan itu becek, rembesan air dari atap yang bocor. Poster peraga untuk pendidikan sudah menguning dimakan usia dan cuaca. Hanya ada tiga poster sepenglihatan saya, tentang tata surya.


Bagian paling buruknya adalah wc sekolah. Ada dua wc sekolah yang tak lagi berfungsi. Ketika saya buka pintu wc yang sudah bolong dan papanya terkelupas saya terkejur melihat kloset yang sangat kotor, juga bak air dari semen yang tak ada air. Jelas kalau saya murid sekolah tersebut, saya lebih memilih buang air di rumah atau halaman belakang sekolah yang penuh semak dibanding disana. Aneh tapi nyata memang, karena sekolah harusnya jadi tempat mengajarkan anak-anak untuk melatih MCK dan higienitas.





Tak hanya di Desa Aisau, tim WWF Indonesia dan saya juga berkunjung ke SDN Asai, Distrik Windesi, Kab. Kepulauan Yapen. Disini keadaanya lebih baik, karena Desa Asai berda di pulau yang lebih besar daripada Desa Aisau. Namun tetap saja, keadaan sekolahnya berhasil membuat saya termangu.

Saat saya datang, anak-anak sedang bermain di halaman depan sekolah. Tanpa alas kaki dan seragam sekolah yang jelas tak seragam (seragamnya campur-campur, beragam warna dan nampak kesempitan). Anak-anak mereka mengampiri saya, membuntuti saya seperti malu tapi penasaran.

Saya kemudian bertanya "Kok tidak belajar di kelas?" Mereka hanya tersipu malu, hanya tersenyum. Hingga akhirnya saya tahu kalau satu-satunya guru mereka sedang diwawancara oleh tim WWF Indonesia untuk keperluan data sekolah. Dari enam kelas, hanya ada satu guru yang bertugas hari itu. Diakui sang guru, satu guru lainnya sedang ke kota untuk mengurus keperluan sekolah, satu guru lainnya sedang cuti.



Fasilitas sekolah SDN Asai memang lebih baik, ada meja dan kursi yang lengkap, dengan bahan pengajaran yag lebih memadai. Tapi sekali lagi, sungguh tak adil jika saya membandingkan sekolah ini dengan sekolah di Pulau Jawa.

Dari obrolan saya dengan anak-anak dan orang tua murid, saya tahu kalau menempuh pendidikan di Papua bukanlah hal yang mudah. Anak-anak yang lulus SD rata-rata harus ngekos untuk belajar di SMP yang biasanya ada di pulau lebih besar.

Banyak juga pulau yang tak memiliki sekolah sama sekali, hingga anak-anak akan membolos sekolah karena perjalanan sekolah yang lompat pulau seperti membuang waktu. Orang tua juga banyak yang melarang anaknya bersekolah dan lebih baik menjadikan anak sebagai pembantu pekerjaan baik itu di ladang ataupun untuk rumah tangga.

Saya ingat Pilus, anak berusia 10 tahun yang gemar belajar, tapi sampai usia itu dia tak diperbolehkan sekolah oleh orang tuanya. Saya tanya mengapa tak sekolah, Pilus hanya diam dengan tatapan penuh arti. Saya tanya apakah ia mau belajar, ia  mengganguk kencang. Sambil tersenyum lebar ia menggoreskan pensil bertuliskan namanya P-i-l-u-s, belajar mencontoh dari goretan pensil saya.

Dari pengalaman tersebut, saya juga menyadari anak-anak Papua ini cerdas. Mereka cepat menangkap materi pembelajaran yang diajarkan. Mata mereka penuh penasaran saat melihat orang luar pulau seperti saya, Bibir mereka terus tresenyum memperlihatkan giginya yang putih, namun lidahnya kelu, malu bicara dengan orang asing.



Mereka gemar membuntuti saya. Memanggil saya kakak bergigi kalung (mereka sebut kawat gigi saya 'gigi kalung') dan berebut ingin melihat handphone saya yang dapat memotret mereka.

Maklum, di desa mereka sama sekali tak ada gadget. Untuk apa gadget, listrik saja tak ada di desanya. Menelusuri pulau-pulau dan masuk ke desa di pulau tersebut, saya seperti masuk ke dalam mesin waktu, kala Indonesia jauh belum merdeka. Bahkan saya pikir lagi sebelum merdeka, sebagian Pulau Jawa juga sudah ada listrik. Tahun 2016 listrik di Papua masih jadi hal yang luar biasa mewah.

Kalau benar Pulau Cenderawasih ini kaya dan paling kaya se-Indonesia kemanakah kekayaan mereka? Kalau benar negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya, kemanakah negara? Kalau benar pendidikan adalah hak dasar sebagai warga negara Indonesia, apakah masyarakat Papua masih mau menyebut dirinya warga negara Indonesia?

(Tulisan ini jelas tak dapat menggambarkan pendidikan di Papua secara keseluruhan, karena saya hanya berkunjung ke sekolah di beberapa pulau daerah Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Semoga ada kesempatan untuk mengunjungi sekolah-sekolah lain di daerah Papua dan Papua Barat)

Kamis, 28 Juli 2016

Alasan Saya Menghapus Media Sosial Path

Dengan ini saya nyatakan hubungan saya putus dengan Path, tok tok tok #PukulKentungan. Sah? Sahhhhh. (Penulis terlalu banyak  nonton sinetron kawin cerai).  

Hari ini saya menghapus akun dan aplikasi Path saya. Banyak yang tanya, "Kenapa sampai perlu dihapus?"Mari saya bercerita, siap siap karena ini panjang. Udah makan belum? (Ciyee yang akhirnya ditanyain udah makan atau belum?) Karena penjelasan ini cukup panjang, walau terlihat pendek sebenarnya ada kalimat lanjutan yang hanya bisa dilihat oleh orang dengan mata batin yang buta.

Jadi begini, dahulu kira-kira satu tahun lalu saya pernah ketagihan main Path. Iuuhh banget kan? Eits tunggu dulu jangan-jangan kamu juga sudah ketagihan tapi tak sadar.

Dulu setiap beberapa menit sekali saya buka Path. Habis ngumpul sama teman, habis nonton, saat baca buku, saat galau dengar lagu, saat stalker orang #eh, saya buka Path. Sampai ketika saya mengalami suatu momen menarik, saya langsung berpikir pasti bagus kalau di post ke Path. Kalau saya jualan online shop dan serajin itu mengupdate juga membuat citra, saya rasa saya sudah kaya raya sekarang.

Suatu saat, ketika tak ada angin dari jendela, hanya ada angin dari Air Conditioner, saya sadar Path itu tak sehat untuk mental saya.Saya berusaha untuk puasa Path. Mulai dari tiga hari, seminggu, sebulan, sampai keterusan. Imbasnya cukup positif, melihat saya yang sekarang masih sehat walafiat secara fisik dan batiniah tanpa ada yang menafkahi Path

Saya, kamu, kita, tak perlu tahu begitu dalam tentang kehidupan seseorang. Ada batas pribadi yang kadang tak jelas di dunia maya.

Apa hubungannya sama foto kupu-kupu? Kupu-kupu punya masa hidup yang pendek. Kebanyakan spesies hanya bertahan beberapa hari paling lama ada yang dapat bertahan hidup selama satu tahun.

Sebenarnya kupu kupu 'mirip' seperti manusia yang hidupnya tak terasa berjalan begitu cepat. Mulai saat ini saya ingin membaca lebih banyak buku yang bermanfaat, mendengarkan lebih banyak genre musik, bepergian ke tempat-tempat yang saya impikan, memotret lebih baik, belajar berenang dan mengendarai kendaraan, berteman dengan orang-orang yang positif, mengobrol lebih banyak dengan orang lain, terutama keluarga, dan fokus dengan saat ini, masa sekarang. Selamat menikmati hidup kawan yang ternyata sungguh indah.