Pages

Senin, 21 April 2014

Pengalaman Tak Terlupakan Saat Magang

Dari banyaknya liputan yang gue jalani saat magang, ada satu liputan yang paling membekas. Yaitu liputan orang hilang ke Panti Tuna Grahita (keterbelakangan mental) di Cengkareng bersama Mas Nur dan Yogi (teman magang dari YAI).

Hari itu hari Jumat, Karena Mas Nur pakai baju koko, dan gue sangat santai jalannya (biasanya gue jalan cepat abis,ngejar waktu). Rencananya gue mau ngetem di studio. Belajar dari orang-orang studio. Sampai ketika itu gue diajak Mas Nur ikut ke panti Tuna Grahita untuk liputan orang hilang.  Gue jadi reporter, dan Yogi jadi Kameramen. Biar dia yang ngawasin dan ajarin (biasanya dia liputan selalu sendiri, reporter merangkap kameramen). Okelah siap sedia sip. Lalu kita cuss bersama ke Cengkareng bersama Pak supir yang ternyata itu adalah hari pertamanya mengantar liputan berita (biasanya dia ngatar anak-anak inbox).
 
Gue uda pernah ke Panti asuhan dan panti jompo. Tapi Panti tuna grahita benar-benar diluar bayangan gue. Saat itu semua anak panti sedang ada di lapangan karena ada kunjungan dari ibu-ibu Polwan. Mereka menari dan bernyanyi bersama. Nah ketika gue datang itu sudah di penghujung acara. Jadi ketika ibu-ibu Polwan sudah selesai, Mas Nur langsung mencari ibu ketua panti untuk minta izin liputan anak hilang. Ketika ibu-ibu Polwan sudah pergi, anak-anak panti datangin gue, salim (mencium tangan) gue, menyapa, dan ada juga yg lansung meluk. (yang paling lucu ada yang bilang minta seribu, lalu dikasih permen sama Yogi. hahaha).

Anak-anak di panti Tuna Grahita ini rata-rata adalah anak-anak hasil razia GePeng (Gembel dan Pengemis di Jalanan Ibukota. ada juga anak yang pergi dari rumah, kesasar dan ga tau arah pulang (bukan butiran debu ya). Pertama sampai panti reaksi gue dan Yogi sama. Yakni bengong. Ga pernah sama sekali  terlintas di pikiran gue anak-anak jalanan keterbelakangan mental atau down syndrom. Sampai gue di panti itu melihat banyaknya anak-anak tuna grahita. Yang entah bagaimana dieksploitasi oleh sebagian orang untuk mengemis dan mengamen di jalanan, dibuang oleh orang tua yg malu dgn anaknya yg keterbelakangan mental kejalanan atau yang paling parah dipekosa oleh orang dekat, atau orang yang mereka temui saat tersesat di jalanan. Tidak memungkiri banyak orang tua yg sayang dengan anak tuna grahitanya, tapi karena kurangnya pengawasan (ekonomi rendah, orang tua harus sambil bekerja), anaknya hilang.

Ga pernah kebayang juga dengan Mas Nur, yg selalu sendirian liputan wawancara mulai dari ibu ketua panti, anak-anak yg keterbelakangan mental, dan menyorot aktivitas mereka. (Beliau uda kerja 23 tahun di SCTV). Banyak pertanyaan yang gue lontarkan ke Mas Nur ttg pekerjaanya. Apakah ada yang pernah berhasil dipertemukan antara keluarga dan anak hilang itu? darimana anak-anak itu? Apa suka dukanya selama 23 tahun ini? Kenapa dia liputan sendiri? Dan masih banyak lagi (kebiasaan gue setiap magang: wawancarai wartawan). Dari ngobrol bareng Mas Nur, gue sadar banyak anak Indonesia dalam kondisi yang super memprihatinkan. Anak jalanan, selain pendidikan, gizinya ada 1 lagi yang terlupakan. Kesehatan seksual atau reproduksi mereka. Entah berapa banyak kasus pemerkosaan, sodomi, atau kawin (bukan nikah ya) dibawah umur yg terjadi pada anak-anak jalanan yang luput dari perhatian kita sebagai masyarakat dgn ekonomi dan keluarga baik-baik. Kata Mas Nur bukan masa depan mereka doang yang hancur. Fisik, dan segalanya hancur.
   
Gambaran yang tidak pernah gue lupakan dari liputan hari itu. Ketika waktu makan bersama anak panti Tuna Grahita. Mereka makan bersama, dan bahagia, walau dengan lauk 1 telor rebus, dan kuah sayur asem. Seorang anak panti bernama Fitri, sebelum makan dia berdoa tanpa disuruh oleh siapapun dengan khusuk dan waktu yg lama.  Bagaimana seorang Fitri yg keterbelakangan mental  bisa bersyukur atas makanannya yang sederhana sedangkan gue dan mungkin kita semua dengan makanan yg berlebih berdoa dengan kilat, atau kadang lupa berdoa sama sekali (malah motret-motret makanannya).

Lebih kerennya adalah para pekerja sosial Ibu-Ibu dan Bapak- Bapak penjaga panti yang setia dan dengan sabarnya mengajari anak tuna grahita belajar, membuat prakarya, melayani makan, membersihkan segala kotoran. Butuh kesabaran super duper tinggi. Bayangkan menghadapi anak normal aaja tidak mudah, bagaimana menghadapi anak keterbelakangan mental.

Kebetulan pula hari itu ada seorang Bapak yang menjemput anaknya yang berumur 5 atau 7 tahun ya (lupa, hehe) bernama Iqbal yang sudah hilang selama 4 hari. Jadi anaknya ini keterbelakangan mental bicaranya cuma sepatah kata dan tak jelas. Suatu hari dia main, trus ikut naik bus jurusan lebak bulus, lalu diajak ngamen oleh anak-anak pengamen. Kemudian terjaring razia gepeng oleh petugas. Ada keharuan ketika Iqbal yg tidak bisa bicara bertemu ayahnya dan lansung berlari memeluk ayahnya.

Nah, dari sana ikutlah kami ber 3 (Mas Nur, gue, Yogi ) ke rumah Iqbal untuk merekam pertemuan Iqbal Idengan neneknya. Disana neneknya menagis ketika melihat Iqbal dan menceritakan kenapa iqbal bisa begitu (pas bayi Iqbal sakit panas, dan penanganannya terlambat). Neneknya juga bercerita tentang kondisi Ibu Iqbal dan keluarganya (1 hal ketika jadi wartawan yg sering gue dapat adalah curcolan orang cyiin).

Terakhir ketika gue ke SCTV untuk mengambil nilai magang, Mas Nur cerita kalau dari liputan itu ada 1 anak yang berhasil dipertemukan dengan orang tuanya. Saat itu gue sadar kalau wartawan adalah salah satu profesi mulia. Entah ketika berhasil mempertemukan keluarga yang terpisah, atau ketika menjadi anjing pengawas (watchdog) pemerintahan Indonesia yg super bobrok (kenapa super? Mahkamah Agung dan Gubernur aja korupsi makan uang rakyat, iuuh), atau ketika menjadi penyampai informasi bagi seluruh masyarakat Indonesia, agar melek globalisasi dan menanamkan kepedulian bagi negaranya sendiri.

Salam,

Silvita Agmasari
Seorang yg sampai sekarang masih punya impian jadi wartawan.
Doakan aku ya ! ( gaya benteng Takeshi)






Silvi Anak Magang ( Magang Lagi Sil?)


Setelah selesai dengan magang pertama di Trans TV, yup! Gue lanjut magang lagi. Eiits. Tapi kali ini di stasiun TV yang berbeda dan posisi berbeda pula. Jadi begini ceritanya (Muka seram dan serius sambil keluar ingus).

Suatu hari ketika gue magang di Trans TV, ada nomor tak dikenal menelpon gue, dalam hati gue mikir mungkin ini manager artis atau ada artis yg kepincut sama gue, atau jangan-jangan abang cendol yg sering gue samperin (yo wess, di cek blog sebelumnya, “silvi anak magang” trans tv). Ternyata oh ternyata, itu HRDnya SCTV . Mba ****. Dia bilang kalau dia nerima cv gue dan menawarkan untuk magang jadi reporter news di SCTV. OMG ! mau banget, secara saya anak Jurnalistik. ingin coba pengalaman liputan sesungguhnya. Tapi masalahnya, gue belum selesai magang, dan perKULIahan sudah mau aktif lagi. Galau lah saya, tp dengan nekatnya gue bilang kalau mulainya bulan Oktober boleh tidak mba? Dia bilang boleh.

Jujur aja gue banyak orang bilang gue nekat, bagaimana ngak, ketika magang di liputan 6 SCTV itu, gue di semester akhir dengan 3 mata kuliah, skripsi, dan laporan magang berjumlah total 16 SKS. Dan gue masih nekat magang jd reporter yg sibuknya bisa dibayangkan. Tapi sekali lagi, prinsip gue jadilah YES man. Ambil semua kesempatan yg ada, karena kita ga akan tahu kesempatan apa yg ada dibaliknya.

Sampai akhirnya maganglah saya di Liputan 6 SCTV. Sebagai anak jurnalistik, dari cerita teman-teman yg pengalaman magang jadi reporter di stasiun tv atau portal online, sudah kebayang deh kerjanya.

Tapi pastinya ditiap perusahaan punya peraturan yg berbeda, nah kalau di Liputan 6, anak magang selalu di dampingi oleh reporter dan kameramen senior. Jadi kita tinggal milih aja hari itu mau ngintilin siapa. Nah, kebetulan gue orangnya sangat random. Siapapun yang gue lihat pertama kali di ruangan itu akan gue intilin. Hahahaa. Ada juga anak magang yang perginya sama dia, diaaaa terus sampai akhir. Menurut gue rugi men. Walau kita cocok sama orang itu, tp malah bikin kita kurang kenal sama yang lain, dan ga dapat ilmu yg banyak.

Tugas reporter simpelnya adalah nyari berita & nulis naskah berita. Soal diedit, dan di dubber, itu semua urusan producer,korlip dkk yang ada di kantor. Saat kerja. Reporter selalu berpasangan sama kameramen. Jadi kerjasama team sangat penting disini.

Liputan yg gue lakukan saat magang lumayan banyak dan beragam. Dengan berbagai narasumber, dari tukang jualan tempe sampai Megawati, di berbagai tempat. Dari pasar, tempat pameran, KPK, DPR/MPR sampai panti penampungan.

Dan bukan silvita rasanya kalau ga ada awkward moment. Bagai sayur tanpa garam kalau kata Inul. Suatu hari gue, mba Debrina, dan Kang Nandar kebagian liputan di Balai Kota (Kantornya gubernur dan Wagub DKI)  Sebelumnya Mba Debrina bilang, kalau gue harus nanya juga di sesi ini. Entah bagaimana sepertinya gue berjodoh sekali dengan Ahok. Tiap liputan pasti ketemunya Ahok, ga pernah ketemu Jokowi. Nah pagi itu Ahok rencananya mau pergi ke Kantor TMC Polda Metro. Semua wartawan bersiap di pintu keluar Balai Kota, untuk wawancara door stop (wawancara cegat narasumber, hampir mirip sama senior sma yg mau labrak adek kelas. Keroyokan). 

Nah mulailah semua wartawan bertanya hal-hal yg mau ditanya atau disuruh kantor tanyakan. Ketika mereka semua bertanya gue memperhatikan Ahok dengan seksama. Mungkin karena gue terlalu hanyut menyimak  Ahok bicara, (menyimak mukanya juga), lalu orang tua gue yang berasal dari Bangka, dan lingkungan kampus gue yang rata-rata adalah chinesse. Gue seperti punya ikatan emosional dengan Ahok. Sampai ketika gue bersuara dan bertanya “ Lalu, bagaimana penanganannya Koh?” . 
Gue: Shock… *spechless, 2 atau 3 wartawan disamping gue yang mendengar itu lihatin gue dengan bengong. Ahok senyum. Lalu lansung disamber oleh pertanyaan wartawan lain yang cepat dan suaranya keras. Untuknya suara gue ga gitu keras.
Ketika gue cerita sama Mba Debrina dan Kang Nandar, mereka ngakak dengarnya. ketika gue cerita ke teman gue mereka ngakak dan bilang, emang di Glodok sil ! 

Ketika liputan bareng dengan reporter dan kameramen pastinya banyak waktu luang di perjalanan atau dalam keadaan menunggu wawancara. Disana juga waktunya gue sebagai anak magang belajar dari para senior. Banyak sekali yang gue pelajari. Dimulai dari cara menulis naskah liputan TV, etika wartawan yang simpel-simpel, sampai idealisme wartawan ttg uang jale (ga asing lagi ttg uang yg diberikan kpd wartawan oleh pihak-pihak yg ingin beritanya ditayangkan). Apalagi kameramen SCTV rata-rata sudah bekerja belasan sampai puluhan tahun. Bnyak pertanyaan ttg bagaimana suka duka peliputan, peliputan, contohnya saat tsunami Aceh  atau kerusuhan  Mei 98 (ingat wartawan adalah saksi sejarah garis depan). Dan gak lupa gue minta nasihat dan petuah untuk pekerjaan gue di masa depan. Hehehe

Yang paling konyol adalah ketika ngomongin soal pasangan hidup antara Mba Rini, Bang Yuli, dan gue ikut bertanya. Kata Bang Yulli anak magang yg satu ini unik yah, yang lain nanya seputar liputan, kenapa dia nanya soal cinta dan pasangan hidup. Wkwkwkk. Dan Bang Yuli dengan semangat menjelaskan tipe laki-laki yang baik untuk dinikahi. hahaha Belajar bisa dari mana ajah kan?

Ga jarang anak magang juga di traktir sama reporter atau kameramen yg sedang tugas bareng. Pernah juga gue ditraktir Bang Edison makan makanan Batak, yaitu Lapo (kebetulan 1 tim dan supirnya non muslim). Asyik ya liputan sambil kulineran. Gue baru pertama kali coba Lapo dan enakkkk ! Hahahaa. 
   
Gue juga belajar banyak dari para reporter. Salah satu liputan  live event besar dan penting yg pernah gue lakukan adalah Rakernas PDIP di Ancol. Saat itu Mba Desa yg kebagian tugas untuk melaporkan secara live dan busyett gue sampai terbengong-bengong Mba Desa laporan live gak pakai secarlik kertaspun atau hp untuk skrip naskah nya. Jadi itu semua pure dari mata ke otak ke mulut, dan super duper lancar. Sampai gue bertanya “Mba tips nya apa biar bisa laporan live selancar itu, ga pakai alat bantu? “. Mba Desa bilang kalau  dia pake alat bantu , malah jadi kacau ngomongnya. Dia lupa semua yang mau diomongin. Kecuali laporan angka-angka dia perlu bantuan kertas. Dahsyat pisan euuy!

Itu dia cerita magang gue di liputan 6, SCTV. Magang jadi reporter tentunya banyak suka seperti yang gue ceritakan, tapi tentunya banyak duka juga, kalau kamu tipe yang ga bisa mencium asap rorok dan ga rela kena panas terik matahari, duduk lesehan dimanapun (mending jangan coba jd wartawan berita). Kena macet di jalan, ditolak atau ga ketemu narasumber itu hal biasa karena wartawan kerjanya memang di Lapangan. Tapi kalau kamu cepat bosan kerja di kantor, kakinya gatel suka bepergian, dan suka hal baru serta tantangan. Jadi wartawan adalah salah satu profesi yg menyenangkan dan mulia tentunya.


Trimakasih untuk seluruh crew liputan 6 SCTV baik yang di kantor, khususnya yg di lapangan Mba Debrina , Mba Desa, Ko Edy, Mba Rini, Bang Yuli, Bang Edison, Bang Dedi, Kang Nandar, Mas Nur, dan masih banyak lagi yang ga bisa disebut satu-satu. Terimakasih atas pengalaman dan ilmu yang diberikan. Salam SCTV !  

btw: mohon maaf tidak ada dokumentasi foto. Foto saya hilang bersama handphone saya yg hilang di mall (hiks)