Pages

Senin, 03 Juni 2019

Tentang Agama


Menarik kalau menyimak isu agama yang kian merebak di masyarakat jelang pemilu (sampai akhir pemilu bahkan ya). Soalnya saya sendiri kalau ditanya agama apa, ada banyak momen canggung. Satu, buat apa ditanya agama saya apa? Moonmaap nih memang situ HR yang ngurus bagi bagi THR? Dua, saya percaya semua agama. Nah loh. 

Intinya saya percaya sebenarnya Tuhan cuma satu, agamanya terserah mau pilih yang mana. Kalau dianalogikan saya mau ke Yogyakarta, bisa lewat jalur Pantura (Pantai Utara) yang banyak jalan tol, cepat sampai, tetapi pemandangannya biasa aja. Jalur ke dua saya lewat Pansela (Pantai Selatan), jalurnya lebih ribet dibanding Pantura yang sudah banyak tol, tetapi pemandangannya bagus banget. 

Pada akhirnya mau lewat Pantura atau Pansela, saya bakal sampai Yogyakarta kan? Selama di perjalanan saya juga harus mematuhi aturan lalu lintas dan menyetir dengan tertib. Jadi kenapa dibuat ribet sih? 

"Eh lu mau lewat Pansela? Udah sih Pantura aja," 

"Iya boleh aja sih, tapi lu yang nyetirin ya. Bayarin semua tol sama bensinnya. Bagaimana, deal?" 

Lantas terdiam... 

Agama itu juga urusan personal manusia dengan Tuhan. Buat apa kita peduli doa dia sampai atau nggak ke Tuhan. Pahalanya cukup atau nggak?

Eh jangan salah saya nggak apatis soal agama, tapi menurut saya pikiran-pikiran yang kelewat ribet, ngurusin agama orang, pahalanya berapa, sungguh lah bukan hal prioritas. 

Ada yang lebih penting daripada ngomongin agama yang notabenenya di luar jangkauan indra, yaitu pengalaman nyata di dunia.

Kembali lagi ke awal, ketika saya jawab ke mayoritas orang Indonesia saya percaya dengan semua agama, rata-rata masih menunggu jawaban saya yang berikut. Nggak bisa pakai titik, selesai di sana saja. 

Saya benar-benar ditanya dan ditunggu untuk jawab agama yang saya anut. Bahkan ada undang-undang yang mengatur agama atau kepercayaan yang dapat dipeluk oleh orang Indonesia. Meskipun pada akhirnya agama-agama di Indonesia tampak lebih superior dibanding kepercayaan-kepercayaan nenek moyang Indonesia. 

Saya nggak kebayang kalau saya jawab "Saya Sunda Wiwitan," atau "Saya menganut Kaharingan nih,"  Jadi kepikiran kapan kapan mau buat eksperimen sosial, hahaa. 

Secara kalau saya jawab agama saya "Buddha" saja banyak yang bingung. Hahahaa. Agama dari mana gerangan itu? Siapa yang disembah? Rumah ibadahnya apa? Kitab sucinya bahasa apaan?

Ya bingung pasti, karena orang Indonesia sedari kecil bahkan sedari lahir, sudah membawa identitas agama orang tuanya. Saya kalau dari bayi bisa ngomong mungkin bilang "Oh mama, oh papa, biarkan saya pilih agama saya sendiri," 

Untungnya karena memang ajaran agama di keluarga saya mudah disusupi alias lemah, jadilah orang tua saya membebaskan saya belajar agama apapun. 

Sedari kecil saya ikut perayaan Natal ke gereja biar dapat besekan, ke masjid buat ngadem dan melihat arsitektur yang luar biasa waktu traveling, terlibat dalam diskusi intelektual antar agama sama teman-teman (saya sebut intelektual karena di antara kami tidak ada yang merasa agamanya lebih baik dibanding agama lainnya), dan baca buku serta kitab suci berbagai agama.    

Pada akhirnya saya tidak bisa dan tidak diperbolehkan di Indonesia melabeli diri saya sebagai agnostik. Saya harus memilih agama untuk urusan administrasi dan tidak dikucilkan dari masyarakat. 

Saya akhirnya memilih agama Buddha. Kembali lagi bukan karena agama ini yang terbaik, cuma ini yang termudah buat saya :DD.  Saya lihat agama ini minim ritual, lebih seperti gaya hidup, dan tata cara hidup bermasyarakat yang baik (alasan macam apa itu). 

Nggak tahu deh kalau besok atau lusa, apa kapan hari agama saya berubah. Secara nikah beda agama aja urusannya ribet di Indonesia. Lagian Tuhan itu menurut saya adalah perjalanan manusia untuk mencari apa yang diyakininya. Jadi yang namanya perjalanan bisa saja belok kanan, belok kiri, muter balik, atau stop dulu nih, ngaso minum es mambo.