Pages

Rabu, 16 Desember 2015

Jualan Komplit di Jakarta

Kota ini lucu. Berbagai macam barang dijual

Berbagai macam hal dapat dibeli 

Dari kitab suci sampai pedang dijajakan

Dari obat sampai racun dapat dibayar

Dari kehormatan sampai nyawa semua ada, semua sedia

Penjualnya beragam, dari kerah longgar dan keriting sampai kerah putih dan kaku

Kau mau apa? Disini ada. Paket komplit, spesial, atau panas, tinggal pilih di Jakarta. 

Asal kau berduit, senanglah kau di Jakarta 


                                                                                                       
                                                                                                     Dari pengamatan si penjual tulisan



Minggu, 01 November 2015

Surat untuk yang Sedang Bekerja

Dear teman-teman seperjuangan, 

Saat si dunia kerja, kita semua pasti bertemu banyak orang. Akan ada orang yang selalu lebih cerdas, skillnya lebih baik, dan lebih lancar bicaranya dari kita. Jangan kaget kawan, meski awalnya pasti membuat gentar.

Jangan minder teman, ada yang lebih berharga dari itu semua. Percayalah IQ tinggi jika tak diimbangi dengan EQ alias kecerdasan emosional sama saja bohong.

Ketahuilah kelebihan dan kekurangan dirimu terlebih dahulu. Lepas dari itu, pelajari kelebihan dan kekurangan orang lain. Nanti kita akan tahu, mana kawan mana lawan. Meski lebih baik jangan pernah jadi lawan. Tapi jika sudah terpaksa, mau tidak mau akan ada kompetisi.

Ambisi boleh kawan, kita perlu ambisi untuk lebih maju. Tapi  kadarnya diatur. Jangan sampai ambisimu menyakiti orang lain.

Jangan lupa bersyukur kawan, keluh cuman menambah peluh. Tak pernah beres kerjamu, karena tak sepenuh hati dikerjakan. Semangat kawanku pekerjaan tak seindah yang dipikir tak seburuk yang dilakukan. Tapi akan jauh lebih bahagia jika dikerjakan dengan hati.


Tepat Memperingati 1 Tahun 5 Bulan Kerja,

Salam ketawa manis. 

Jumat, 16 Oktober 2015

Kejahatan Jender. Kenapa Korbannya Selalu Wanita?

Tulisan kali ini sebenarnya lebih karena artikel-artikel kekerasan seksual dan kejahatan jender yang saya baca di media internasional. Ada beberapa yang akhirnya saya terjemahkan untuk artikel di kantor. Tapi yang pasti, artikel setrika payudara ini yang paling membekas. Ini link untuk terjemahan bahasa Indonesianya yang sudah saya lansir:


Buat saya sebagai seorang wanita, luar biasa miris mengetahui adanya aksi kejahatan jender seperti setrika payudara dan FGM (Female Genital Mutilation). Untuk yang belum tahu, singkatnya setrika payudara itu adalah tradisi di beberapa negara Afrika untuk meratakan payudara seorang gadis yang sedang puber. Medium setrika, bukanlah setrika listrik tapi lebih kepada batu, bambu, atau juga besi yang dipanaskan dengan api kemudian seperti setrika, digosok ke payudara. 

Tujan setrika payudara ini adalah membuat payudara jadi rata, karena payduara dianggap sebagai pemikat pria yang menimbulkan hawa nafsu. Pelaku setrika payudara mayoritas adalah ibu dari para gadis yang beranggapan bahwa tindakan itu melindungi anaknya dari pemerkosaan. 

setrika payudara sumber acelabrationofwomen


Mirip dengan setrika payudara, FGM itu adalah sunat untuk wanita, yang biasanya dilakukan saat masih bayi atau kanak-kanak. Hal yang paling mirisnya sunat ini dilakukan atas dasar lambang kesucian dan kehormatan seorang wanita, Bukan cuma di Afrika, di negara Timur Tengah, bahkan di Indonesia sendiri prosedur FGM ini masih terjadi. Padahal jika dilihat dari segi medis, dua tindakan diatas justru sangat berbahaya dan merugikan, bahaya infeksi, kanker, dan masih banyak lainnya mengintai para gadis ini  

Ga sampai logika saya untuk mencermati apa yang salah dari payudara atau vagina seorang wanita? Rasanya payudara atau vagina bukan cuma berfungsi atau lambang seksual. Payudara itu adalah medium ASI dan vagina ini medium melahirkan anak. Kenapa orang-orang dengan teganya bilang payudara dan vagina itu porno. Padahal ia lahir dari sana, minum dari sana. 

Kenapa selalu wanita yang jadi korban kejahatan jender macam ini. Kenapa wanita yang harus melakukan preventif pemerkosaan. Bukannya pencegahan juga harusnya dilakukan ke pria? Kadang sudah diperkosapun wanita masih yang salah dan menerima ganjaran jauh lebih berat dari si pemerkosa. Kenapa dunia masih jauh dari kata aman dan adil untuk wanita?  

Salah seorang kawan pria yang saya ceritakan tentang setrika payudara ini berkata, "Kenapa tidak alat kelamin pria itu saja yang dipanasin untuk menahan hawa nafsunya, biar tak perkosa orang?" Kalau saja banyak pria yang pikirannya sama dengan teman saya ini mungkin dunia lebih baik. 


Minggu, 26 April 2015

Resensi Buku dan Pandangan Pribadi Buku 'Catatan Seorang Demonstran'

Resensi Buku ‘Catatan Seorang Demonstran’

Judul : Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Jumlah Halaman: 353
Penerbit: LP3S



Catatan Seorang Demonstran adalah buku harian seorang aktivis bernama Soe Hok Gie yang lahir pada tahun 1942 dan meninggal pada tahun 1969 (Era Revolusi-Soekarno). Dalam buku ini berisikan catatan dari buku harian Soe Hok Gie yang dimulai sejak ia duduk dibangku SMP sampai dengan lulus dari bangku kuliah. Sosok Soe Hok Gie nampak jelas lewat tulisan dan pemikirannya yang berani serta apa adanya. Dari catatan hariannya ini, Soe Hok Gie tergambar sebagai sosok yang humanis, suka bergaul, dan  memiliki kepedulian tinggi baik bagi orang sekitar maupun negaranya. Buku ini sangat menarik untuk dibaca khususnya bagi generasi muda. Dari ‘Catatan Seorang Demonstran’ banyak hal yang dapat dipelajari dan ditanamkan dalam diri seseorang. Luangkan waktu sejenak, baca dan telaah buku ini. Buku yang menginspirasi.


sampul depan Catatan Seorang Demonstran


Pandangan pribadi: (Subjektif tentunya)

Sudah lama saya mengincar buku ini. Dari jaman kuliah sampai akhirnya sekarang saat kerja, saya baru mendapatkan buku 'Catatan Seorang Demonstran'. Awal mula saya tertarik membaca buku ini justru dari kutipan-kutipan dari kalimat Soe Hok Gie yang tersebar di media sosial. Kalimat tersebut bagai menyihir, menarik untuk membaca bukunya yang lebih lengkap. Konon kalau tak salah dengar, buku ini bagai kitab suci seorang mahasiswa di Indonesia. Bertahun-tahun mencari, akhirnya saya mendapatkan buku ini. Sayangnya bukan buku asli (Maaf Gie dan penyusun). Buku asli 'Catatan Seorang Demonstran' ini terbilang langka di pasaran, yang bajakanpun hanya muncul permusim. 

Rasa penasaran dan penantian selama bertahun-tahun tersebut sungguh terbalaskan. Buku ini jelas 100 persen buku yang berbobot dan mendidik pembacanya (lagi ini subjektif). Seperti yang saya sebutkan dalam resensi buku, sosok Gie yang pemikir sekaligus penggiat/ aktivis, sebenarnya jadi paket lengkap bagi anak muda untuk belajar dan mengenal dirinya lebih dalam. Buku ini juga tak melulu soal politik. Sesuai nama sub bab nya 'Buku, Pesta, dan Cinta' Gie juga banyak bercerita mengenai perasaan-perasaannya sebagai anak muda yang tentunya haus akan cinta dan hiburan. 

Soal sosok Gie, rasanya saya sudah jatuh cinta. Sungguh kalau ada laki-laki seperti Gie di jaman sekarang, perempuan mana yang tak jatuh cinta. Sosok intelek, pemberani, pembela yang lemah, dsb. Namun Gie sendiri bilang dalam bukunya, kadang terlalu pedih bagi dia ketika dieluhkan sebagi seorang pahlawan, kemudian hanya sebatas itu dan nyatanya tak ada yang mau ikut campur dalam kehidupan pribadinya. 

Dari buku ini, anehnya saya banyak belajar soal cinta (selain soal kehidupan). Saya banyak merenung kalimat-kalimat Gie soal cinta. Karena soal buku dan pesta, yakni dunia kuliah dan kebetulan politik dalam organisasi kampus, saya sudah lewati. Gie banyak membuka batin lewat persoalan yang ia hadapi soal cinta dan dituliskannya di buku harian. Misalnya saja saat ia menuliskan tentang masalah emosional yang dihadapi pria dan wanita. Gie menuliskan bahwa rata-rata pria tak cukup dengan afeksi dari seorang wanita, dan wanita punya masalah insecure. Tak pernah yakin bahwa kekasihnya hanya berikan perhatian ke dia. Percaya atau tidak, lewat analisis langsung dan bertanya pada teman. Hal ini sungguh terjadi khususnya pada anak muda. Soal ini solusi dari Gie tak diberikan, dan saya mengobrol dengan teman pria juga tak mendapatkan solusinya.  Kata teman saya ini bukan soal 'win win solution', tapi saya masih merenung 'tak adakah titik temunya?'

Ada lagi ketika Gie menulis mengenai teori permen karet. Dimana ketika seorang khususnya pria putus cinta, ia akan melampiaskannya pada 'permen karet'. Entah itu pelarian yang akhirnya berakhir ke pelacuran, atau jika yang lebih punya nalar akhirnya berlari pada teman perempuan, dan curhat sampai perasaan membaik dan mendapatkan afeksi dari teman perempuan. Kemudian pergi saat 'manisnya' telah habis. Dan gilanya saya baru sadar saya dijadikan permen karet oleh lebih dari satu orang pria karena baca buku ini. Hahahhaa, agak miris dan pedih. Namun positifnya saya jadi belajar menjadi pendengar yang lebih baik, dan dapat mengerti kaum pria lebih baik. 


Kemudian yang saya paling camkan adalah ketika Gie menulis soal 'apa yang dicari pria dari sosok wanita'. Gie mengatakan lewat obrolan ia dan temannya, bahwa pria mencari wanita yang bisa memenuhi hasrat intelektual dan juga seksual (afeksi). Lewat tulisan tersebut, saya sungguh berkaca. Apakah saya sudah dapat memberikan kedua hasrat tersebut. Syukur kalau satu. Pada akhirnya saya rasa memang perempuan cerdas yang penuh kasih sayang dibutuhkan oleh sosok seorang pria. Tapi tak tahu juga ya. Ada juga pria yang tak peduli seberapa intelek pasangannya. Ada juga yang mencari pemuas afeksi atau hasrat seksualnya lewat wanita lain. Hati manusia, bukan hanya kaum perempuan, sebenarnya sangatlah kompleks.

Akhirnya buku ini memang membuat pembacanya menjadi merenung. Seberapa berartikah dia bagi orang lain (Gie itu banyak memberi manfaat bagi orang lain semasa hidup sampai telah tiada). Kemudian, seberapa baik kita sebagai seorang warga negara, mahasiswa, anak, teman, kekasih. Banyak tulisan Gie soal pandangannya yang kritis dan menarik terhadap etnis dia sendiri ( saya)tionghua. Soal peran menjadi anak, dan kasih sayang ibu yang sulit dimengerti, soal setia kawan, dan cinta yang perlu penalaran. Banyaaakkkkk pelajaran. Intinya baca buku ini, terutama jika kalian masih muda. Belajarlah dari Gie, merenunglah, dan berani melakukan.




Kamis, 23 April 2015

Dilema Pekerja Media di Indonesia

Soal pergolakan batin saya dimana berita yang mengeksploitasi perempuan (berunsur payudara dan bokong) yang lebih laku, soal pembaca Indonesia yang lebih suka membaca berita kontroversial,

Jawabannya akhirnya di dapat seiring satu tahun kerja. Problematika seorang wartawan online sebenarnya adalah kuota berita perhari, target jumlah pembaca, dan konten berita. Ketiganya berkorelasi, ketiganya begitu rapuh soal akibat yang diberikan. Efeknya mendidik atau tidak. Negatif atau Positif, tak ada ditengah-tengah.

Intinya kuota dan target jumlah pembaca adalah tanggung jawab wartawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, konten berita lebih kepada pesan yang ingin disampaikan oleh wartawan dan tanggung jawab kepada pembaca atau khalayak umum. Beberapa media seringkali 'mengobok-obok' konten berita ini. Hingga akhirnya wartawan cuma jadi sapi yang dicocok hidungnya, hilang semua idealis yang dibawa saat mulai kerja.

Masalah saya beda. Masalah saya soal mengikuti selera pembaca Indonesia yang entah mengapa masih begitu berkembang pemikirannya. Soal pergolakan batin diatas benar terjadi. Soal pemenuhan kuota berita perhari, soal tanggung jawab target pembaca perbulan, dan akhirnya mempengaruhi konten berita.

Akhirnya senior di tempat kerja mulai bertanya "Sebenarnya mulai kemana arah berita tempat kamu?" kalimat tersebut bagai geledek di siang hari. Menyadarkan saya, memaksa saya berpikir mau kemana orientasi ranah saya menulis. Soal pergolakan batin, senior saya satu lagi berkata dengan nada menenangkan. "Sebenarnya semua kembali lagi ke individu masing-masing Sil. Mana yang mau dipilih. Jumlah pembaca atau konten berita yang disampaikan?"

Kesimpulannya yang saya tarik, media di Indonesia sebenarnya punya kesempatan untuk menciptakan khalayak masing-masing, yakni lewat konten yang menginspirasi dan mendidik. Masalahnya pergolakannya pasti cuma satu, jumlah khalayak yang agak menurun (drastis). Pada akhirnya banyak media kapitalis yang orientasinya untung tak peduli soal konten. Seakan-akan menyerah pada sifat khalayak mayoritas di Indonesia, yang gila sensasi lewat konten berbau seksual, slapstick, dan kisah dunia dongeng. Mau tidak mau inilah yang dihadapi berbagai media di Indonesia. Dimana mayoritas penduduknya masih minim pendidikan formal.

Akhirnya wartawan, seperti saya harus memilih 'siapa yang menciptakan siapa'. "Apakah saya mau menciptakan khalayak yang lebih berpendidikan, atau justru saya yang diciptakan oleh selera khalayak Indonesia pada umumnya? " Syukurnya saya masih boleh merenung dan memilih soal ini. Apa jadinya teman-teman di media tetangga, yang menyalahi batin atau idealismenya tiap hari menciptakan konten selera pasar. Semoga batinya ditenangkan akhirnya.



Kamis, 16 April 2015

Banyak Pesakitan di Jakarta!

Banyak pesakitan di Jakarta!

Banyak pesakitan di Jakarta.
Mengadu sesuatu yang semu atau belum pernah ketemu.

Banyak pesakitan di Jakarta.
Mengeluh uang, mengeluh pekerjaan, mengeluh pasangan, mengeluh keluarga, mengeluh nasib.

Banyak pesakitan di Jakarta.
Saking banyaknya keluhan. Sapi pun minder. Rasa tak pantas lagi mengeluh.


Jadi intinya begini. Hari ini saya dapat keluhan dari teman yg bekerja di luar dan dalam negeri. Mereka mengeluh soal karier yang tak sesuai passion, dan akhirnya membosankan. Saya mengeluh soal penat dan macet kota Jakarta. Kemudian saya mengeluh soal lelaki yg datang dan pergi.

Tahiks, umpat saya belakangan ini. Dipikir-pikir saya seperti orang pesakitan yang datang ke dokter. Datang sakit kemudian berkelu kesah. Gila benar jd dokter. Tiap hari harus dengarkan kelu kesah. Untung dia dibayar. Kalau Tuhan? Muak tidak dia dengar saya dan teman-teman berkelu kesah?

Minggu, 05 April 2015

Kotak-Kotak Busuk

Beberapa waktu lalu, saya sempat marah, dan akhirnya meledak di akun sosial path. Saya memang bukan tipe pemarah yang dengan mudah melampiaskan. Ujung-ujungya emosi hanya disalurkan lewat tulisan atau tangisan. Dalam posting path tersebut, saya menulis:

"Rasiskah saya kalau terkadang saya marah dengan etnis saya sendiri?
Kata rasialisme muncul, tapi jarang berkaca. Sendiri tak suka toleransi. Sendiri memisahkan diri. Sendiri mengkotakkan diri. Kemudian larut dalam orientasi untung, menggerutu saat bersama, manja saat digabung. Padahal kita minum air Indonesia. Tidur ditanahnya dan hirup udara yang sama. Lantas apa yang membuat kita beda? Pola pikir yang kadang terlalu sempit dan kaku seperti kolor yang salah beli ukuran.

*Abis dizolimi sama nci nci di busway."

Sebenarnya kemarahan tersebut karena masalah yang sepele. Sepele buat saya, entahlah buat nci nci itu. Berapa sering dari kalian sekalian yang naik kendaraan umum, kemudian kaki kalian terinjak oleh orang lain, atau terdorong oleh orang lain. Buat saya, itu resiko dari naik kendaraan yang disebut UMUM. Kalau ingin privasi lebih, maka ada baiknya menggunakan kendaraan PRIBADI bukan? Malam itu kebetulan saya tak sengaja menginjak kaki seorang perempuan tionghua berusia kira-kira 25 tahun. Cuma seujung jari kakinya, yang tak sengaja saya injak, karena ia tepat berdiri di depan saya yang sedang duduk, dan mau berdiri karena halte tujuan sudah sampai. Belum sempat minta maaf kemudian dia mulai menyinyir saya, dengan teman yang kebetulan ada di sebelah saya. Saya urungkan niat saya minta maaf, bukan masalah gengsi. Masalahnya saya sudah kehilangan niat mendengar kata-katanya yang menyakitkan telinga. Buat saya dalam kondisi biasa, masalah seperti itu sebenarnya sangat sepele, dan biasanya tak pernah terpikirkan sama sekali. Kebetulan hari itu, saya sedang menjalani hari yang tak begitu baik. Terjebak macet berjam-jam, dan berakhir ketinggalan sesuatu yang harus diperbuat. Lelah mental dan fisik ternyata begitu menyakiti emosi. 

Kemudian lewat kejadian tersebut, bagai lorong waktu, segala pandangan saya mengenai etnis saya sendiri, yakni Tionghua, mulai terbeseit satu persatu. Kalau boleh bercerita, saya adalah anak ketiga dari orang tua yang berasal dari daerah Bangka dan keturunan Tionghua. Meski begitu, keluarga saya terbilang unik. Wajah dan perawakan ayah saya lebih menyerupai suku Batak ketimbang Tionghua. Ibu saya, berwajah oriental, namun memiliki mata yang besar. Jadilah kami tiga bersaudara, sama sekali tak ada yang memiliki wajah layaknya seorang Tionghua. Sering saya salah dikira orang, mengenai asal etnis saya. Bayangkan, saya pernah disebut dari berbagi daerah di Indonesia, seperti Sunda, Palembang, Jogja, Bali, Manado, Batak, dan juga Tionghua tentunya. Tapi seringkali orang akan terkejut ketika mengetahui kalau sebenarnya saya keturunan Tionghua. 

Punya wajah Indonesia atau saya lebih suka menyebutnya Internasional :P berstatus tionghua, mengantarkan saya ke berbagai pengalaman unik. Salah satunya adalah proses penerimaan lingkungan sekitar atau adaptasi pergaulan. Dari kecil, saya tahu persis hidup di lingkungan orang tionghua. TK-SMP saya habiskan di sekolah swasta dengan ajaran agama Katolik dan Kristen yang cukup kuat, Kemudian dilanjutkan dengan SMA yang agak lumayan anomali bagi kebanyakan orang. Bertatus Negeri, terletak di daerah Glodok, dengan komposisi siswa Tionghua 90 persen disekolah tersebut. Dari SMA ini saya mulai sadar akan adanya toleransi dan perbedaan di masyarakat. Pernah salah satu teman saat di SMA berkata pada saya, "Sil, saya kira pertamanya kamu bukan orang Chinese?" kemudian saya bertanya balik "Looh, kok kemudian tahu?" ia menjawab "Iya tahu dari gerak-gerik dan cara kamu bicara," Buat saya saat SMA mendengar hal tersebut, yang terbesit adalah perasaan sedih. Sedih karena ternyata wajah saya benar-benar tak seprti Tionghua, dan juga sedih dengan berpikir "Kalau saya bukang tionghua, lantas tak ada yang mau main dengan saya?" 

Naif memang, tapi itu adalah pikiran anak SMA di usia 16 tahun. Sempat juga saya curhat pada sahabat saya, mengenai wajah 'internasional' ini. Menurut teman-teman saya, harusnya saya bersyukur. Karena mereka justru tak mau memiliki mata sipit, dan kulit terlalu putih. Mereka ingin seperti saya katanya. Lama kelamaan, saya menyadari betul keuntungan memiliki wajah internasional ini. Salah duanya adalah terhindar dari stereotipe, dan rasialisme yang di jaman modern ini sayangnya masih banyak di masyarakat. Saya dengan mudah bergaul dan membaur diantara lingkungan dengan orang-orang asli Indonesia. Tapi lucunya, saya justru memiliki kesulitan saat bergaul dengan etnis saya sendiri, Tionghua. 

Masuk perguruan tinggi, lagi-lagi saya berkuliah dimana 70-80 persen mahasiswanya adalah tionghua. Dari sana saya seperti terjun langsung, lebih dalam mengamati bagaimana peran etnis saya sendiri dalam lingkungan yang lebih luas. Maafkan saya kalau ini terlalu subjektif. Tapi saya melihat betul kalau sebenarnya ada tindakan rasialis di dalam kaum tionghua sendiri. Saya mengamati dan merasakan, bagaimana ketika seorang di luar etnis tionghua berusaha bersahabat dengan tionghua. Jangankan begitu, sayapun tak jarang mendapatkan perlakuan seperti kecurigaan, atau tanda tanya besar. Kemudian, pada akhirnya ketika saya amati lebih lanjut lagi, di kampus saya, mahasiswa golongan Indonesia asli, bukan tionghua juga membentuk kelompoknya sendiri, seakan kedua golongan ini begitu 'malas' dan segan untuk bercampur. Padahal apa sih bedanya kita? bayar uang kuliah sama, belajarnyapun juga itu-itu saja. 

Saya sendiri mengelompokkan diri, tapi tak memilih teman. Saya memang berkelompok dengan teman yang punya satu kesamaan. Sama-sama teman SMP, sama-sama teman UKM, atau sama-sama teman Jurnalistik. Pengalaman selanjutnya mengantarkan kepada betapa tertutupnya lingkungan Tionghua bagi orang luar. Seakan-akan ada balon transparan dalam lingkungannya. Sebenarnya inilah yang membuat pola pikir beberapa orang jadi begitu naif, dan sempit. Karena hanya dari dari sudut pandangn pergaulan sesama tionghua yang dilihat. 

Bersyukurnya, saya aktif dalam kegiatan UKM Radio, dimana perbedaan etnis sama sekali tak jadi masalah bagi kami. Tradisi dari senior baheula, yang melarang adanya penyebutan 'ci' atau 'ko' dalam UKM kami, dan harus 'kak'. Saya juga lumayan aktif di organisasi luar kampus, misalnya persatuan radio kampus sejakarta, dan organisasi kepemudaan skala nasional. Bahkan dalam organisasi kepemudaan skala nasional, hanya sayalah satu-satunya tionghua dari banyaknya volunteer. Pernah saya bertanya kepada teman yang merekrut saya. "Kamu tahu dari awal saya Tionghua?" jawabnya "ya tahulah" sambil tertawa, Anehnya lagi saya malah sama sekali tak dibedakan, atau "dicurigai "seperti saya bergaul awal di lingkungan tionghua yang baru. 

Belajar toleransi, dan pengamatan kemudian berlanjut lagi di dunia kerja. Dunia kerja rupanya lebih keras bagi penggolongan etnis. Beruntungnya saya, saya bekerja di perusahaan besar yang tak hiraukan etnis. Pernah saya mengobrol dengan beberapa teman yang bicara "Kalau perusahaan ini tionghua lebih gampang masuk," atau ada lagi "Jangan disana, susah maju tionghua mah" paling miris ketika saya mengobrol dengan teman Indonesia asli. Ia bercerita bahwa tadinya telah keluar, sekarang masuk lagi ke perusahaan kami yang ia katakan tak ada tandingan kalau soal lingkungan kerja. Saya bertanya, "mengapa?" Ia bilang "Ada banyak sebab. Salah satunya tidak nyambung dengan bidang saya," Saya tanya lagi "Lalu" Ia jawab sambil ragu melihat saya. "Lingkungannya," dengan mudah, saya yang sudah tahu perusahaan tersebut menjawab, "Rasis yah?" dan dia hanya mengganguk. Rasa miris dan malu saya muncul begitu saja mewakili etnis saya sendiri. Sadarkah, ketika berbicara keadilan dan rasialisme tionghua di Indonesia, sendirinya kita juga mengelompokan diri, dan rasis terhadap golongan di luar tionghua?  

Apa alasannya kita mengelompokan golongan, etnis, atau paling parah agama? Sehebat apa golongan dan identitas kita sehingga dengan berani membuat perbedaan? Saya rasa adanya perbedaan diciptakan agar manusia dapat banyak belajar. Belajar menerima, Belajar keindahan dalam bentuk lain, belajar bahwa tak sendiri di dunia, dan harus menghormati perbedaan tersebut. Tapi nyatanya kita manusia begitu lancangnya. Lancang mengatasnamakan golongan sendiri jadi yang paling bagus, baik, dan diatas segalanya. Betapa muaknya saya melihat sikap etnosentrisme khususnya di kalangan Tionghua sendiri. Jika ada yang bilang "Belajar dari pengalaman sil" Saya tahu, saya belajar sejarah dimana kerusushan rasialis di Indonesia, banyak yang memakan nyawa para tionghua. Mulai dari pembantaian tionghua oleh VOC tahun 1740. Kemudian kerusuhan rasilais tahun 1960an di beberapa daerah Indonesia sampai kerusuhaan tahun 1998, dengan penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis tionghua. Tapi mau sampai kapan kita menjadi etnis yang pendendam? Sejarah jangan dilupakan. Dari sejarah pahit tersebut banyak yang dapat dipelajari. Tetapi bukankah manusia harus terus menatap ke depan? kalau tidak sampai kapan dendam terus membara? sampai anak-cucu-buyut kita? Kapan negara yang sudah merdeka 70 tahun ini sungguh merdeka dan maju, kalau penduduknya saja masih berpisah dan mendendam satu sama lain. 

Intinya, persetan dengan rasialisme atau etnosentrisme. Kalau tidak ada hal tersebut, peradaban jauh lebih baik. Tidak ada ISIS dengan obsesinya merubah dunia jadi satu agama, tidak ada Hitler dengan bangganya memusnahkan ras lain, tidak ada politik apartheid di Afrika yang hanya memandang warna kulit, tidak ada perang-perang lain di dunia, yang mengatasnamakan kenarsisaan dan kebanggan yang salah dari satu golongan, kelompok, atau negara.