Pages

Selasa, 09 Februari 2016

Selamat Hari Pers Nasional

Tahun 2011, jurnalis kawakan Putra Nababan mengisi acaara seminar di kampus saya dengan tema jurnalistik. Saat itu, saya masih ingat betul satu kata yang diucapkan dengan tegas oleh Putra Nababan, "Jangan jadi jurnalis!" ujarnya. Kalimat tersebut diucapkannya dengan lantang kurang lebih tiga kali dengan nada yang tegas. Mahasiswa yang mendengarnya hanya terdiam, Putra Nababan membuat banyak mahasiswa merenung dengan kalimat tersebut. 

Kini lima tahun usai mendengar kalimat Putra Nababan tersebut, saya baru mengerti apa arti kalimat yang ia katakan. Menjadi jurnalis di Indonesia luar biasa menantang. Menantang dalam artian positif dan negatif. Ada pro and cons yang dapat dijabarkan sesuai dengan pengalaman kerja sebagai jurnalis. 

Saya sendiri baru satu tahun selapan bulan menjalani profesi ini, dan merupakan profesi pertama saya di dunia kerja, jadi tentu kurang objektif dan kurang bijaksana dibanding dengan senior-senior saya yang sudah berpuluh tahun menjalani profesi ini. 

Lewat 'kacamata' saya, mari kita bahas soal keuntungan dan kerugian menjadi jurnalis di Indonesia, yang menurut saya penting bagi kalian semua yang ingin mengambil jalur profesi ini.

Negatif jadi jurnalis di Indonesia:
1. Bukan rahasia penghasilan jurnalis di Indonesia tidak besar. Hal ini akhirnya menyebabkan beberapa jurnalis yang menerima atau bahkan berharap 'amplop' saat meliput. 
2. Jam kerja yang panjang. Saat menulis ini saya baru pulang liputan dari Bandung berangkat pukul 9 pagi pulang jam 11 malam. 
3.  Lelah fisik. Penyakit tifus, hepatitis, dan maag dianggap biasa di kalangan jurnalis. 
4. Idealis dan indepedensi diobrak-abrik kepentingan, yang sebagian besar kepentingan tempat kerja. 

Saya sepakat dengan teman saya, ada banyak hal dari jurnalis yang tak dapat dibayar dengan iming-iming angka dan jabatan, yakni dengan keuntungan:
1. Memicu adrenalin yang akhirnya meningkatkan endorfin alias hormon kegembiraan, yang didapat dari proses peliputan berita sampai berakhir berita diapresiasi khalayak.
2. Terpapar akan informasi yang baru tiap hari (at least you learn something everyday)
3. Bertemu narasumber dari lapisan bawah sampai paling atas. (cuma jurnalis yang pagi wawancara tukang becak dan sore wawancara presiden). 
4. Setidaknya tulisan adalah bentuk kontribusi untuk masyarakat dan negara (membuka wawasan orang lain, mencerdaskan orang lain tanpa menggiring opini)
5. Pergi ke berbagai tempat dari dalam sampai luar negeri, gratis. 
6. Munafik kalau saya bilang kartu pers tak ada guna. Kartu ini bahkan lebih sakti ketimbang KTP. Kartu ini ajaibnya memberi efek psikologis, yakni keberanian dan kepercayaan diri dimanapun Anda berada. (maka tak heran banyak jurnalis abal-abal alias bodrek yang mengaku jurnalis asli).  
7. Punya pengaruh penting untuk hajat hidup orang banyak

Lalu apa syarat yang dibutuhkan untuk jadi jurnalis? 
Saya cuma bilang passion. Tanpa passion jangan coba-coba jadi jurnalis. Mungkin pro yang saya tulis lebih banyak ketimbang cons. Tapi coba lihat lagi faktor penghasilan dan fisik yang menjadi kekurangan jurnalis, secara tak langsung itu adalah sumber penghidupan. Tanpa passion tugas terasa begitu berat, hari begitu panjang, tubuh sakit, dan cuma bisa mengeluh lantaran penghasilan yang tak sebanding dengan pekerjaan. 

Harapan para jurnalis Indonesia
Semua jurnalis punya harapan agar kesejahteraanya lebih terjamin, khususnya dari segi penghasilan dan tunjangan yang diberikan perusahaan tempatnya bernaung. Ada hal unik dari media-media di Indonesia, namanya bisnis media tapi si 'ujung tombak' pengisi berita, penghasilannya tak lebih atau sama baik dengan pekerja lainnya.

Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalis punya peran luar biasa berpengaruh dan tanggung jawab besar akan hajat hidup orang banyak. Selamat hari pers nasional kawan-kawan seprofesi yang luar biasa.


   

Senin, 01 Februari 2016

Ke Baduy Dalam, Apa Saja yang Perlu dipersiapkan?

Saya sebenarnya bukan tipe yang menulis "How to get" atau "How much" dalam artikel perjalanan. Tapi percayalah, saya merasa berhutang pada kalian-kalian yang rajin ngeblog dan sangat membantu di tiap perjalanan saya :") *terharu, nangis satu panci. Untuk itu saya seperti punya komitmen untuk menulis proses di tiap perjalanan saya tahun ini.

Nah, tanggal 23-24 Januari 2016 saya baru saja berkunjung ke Baduy dalam. Salah satu suku di Indonesia yang masih menjaga adat budayanya dengan sangat baik. Letaknya di Banten, tak jauh dari Jakarta. Jadi bagi warga Jakarta yang haus (saya juga selalu haus) wisata, terutama wisata budaya, suku Baduy ini sangat saya rekomendasikan.

Cara ke Baduy dalam
Buat kalian yang tak mau ribet, saya rekomendasikan ikut open trip. Harganya berkisar Rp 180.000- Rp 250.000 dengan semua biaya yang sudah ditanggung. (transportasi, akomodasi, makan).

Nah bagi yang ingin berkunjung sendiri, ada baiknya punya kenalan orang Baduy dalam atau luar yang dapat menjadi tour guide atau bahkan tuan rumah. Dengan syarat, kalian tentu harus membawa buah tangan atau uang sekedar ucapan terimakasih.

Cara ke Baduy itu mudah: 

-Naik kereta tujuan Rangkas Bitung (bukan commuter line) harga Rp 5.000
- Sampai stasiun Rangkas Bitung cari mobil angkot elf dengan harga sekitar Rp 25.000 perorangnya (kalau kalian ramai bisa nego harga). Nah sampailah kalian ke Cibologer atau pintu ke Baduy.

Sebelumnya, rute ke Baduy dalam ada tiga, yakni lewat Cibologer via Gazeboh (1) atau jalur Danau (2) dan lewat Cijahe (3). Jalur satu dan dua memakan waktu perjalanan dengan kaki selama kurang lebih empat jam. Sedangkan Cijahe makan waktu satu setengah jam.


Selamat datang di Cibologer! 

Penting untuk dicamkan, dinalar, digalaukan, dan disemedikan (sungguh lebay) jalur satu dan dua bukan jalur yang mudah, apalagi bagi yang jarang olahraga. Sebaliknya yang sudah biasa naik gunung atau olahraga mungkin jalur ini jalur normal. Saya juga sangat merekomendasikan pakai sepatu atau sandal gunung, atau setidaknya sepatu kets.

Saya sendiri lewat jalur satu dan dua. Buat saya tanjakan di Baduy ini macam tanjakan cinta di Semeru, bikin semaput. Orang Baduynya sambil bercanda bilang ke saya ini tanjakan setan. Ada juga turunan Badak via jalur Danu, karena nyrusuk terus kayak Badak.

Faktanya kalau kita berjalan empat jam, orang Baduy hanya butuh waktu satu setengah jam untuk perjalanan rute satu dan dua ini, plus tanpa alas kaki. :''') Mereka bahkan ga keringat pas naik tanjakkan, sedangkan saya keringatnya bisa diperes (jadi sedih ingatnya).

Kemudian sampailah di kampung Baduy dalam. Kampung Baduy dalam ada tiga, yakni Cibeo, Ciketawarna, dan Cikeusik. Biasanya pendatang bisa bermalam di Cibeo atau Cikeusik yang jumlah penduduk dan rumahnya jauh lebih banyak dari Ciketawarna.


Itu saya bukan si buta dari goa hantu 

 Catatan tambahan: bule atau turis asing hanya boleh sampai Baduy dalam, trus yang ngomong orang Baduy rasis siapa? sini biar tak tempeleng (galak mode on). Doi menerima tamu dari berbagai ras, tak terkecuali Tionghua (jadi sebelum pergi temen saya menyampaikan pikiran dan isu-isu negatif perihal kalau Tionghua ga boleh masuk yang ternyata semua salah). Menurut orang Baduy tak menerima bule dan turis asing karena sudah peraturan dari leluhurnya. Nah kalau macam Cinta Laura, yang campuran dan bisa ngomong bahasa Indonesia masih boleh sampai Baduy Dalam.


Kalau jalur gazeboh, pasti melewati empat jembatan bambu tersohor ini

Lanjuuutt, apa saja yang harus dibawa:
1. Sleeping bag (kalau kalian susah tidur di tikar)
2. Ransum makanan (kalau kalian ga ikut open trip)
3. Buah tangan untuk orang Baduy

Di Baduy dalam ada tiga peraturan yang harus kita taati. Pertama tak boleh mandi dengan sampo, sabun, dll (intinya ga boleh mencemari air dengan bahan kimia), kedua tak boleh menyalakan alat elektronik, dan ketiga, dilarang berbuat asusila. Udah itu aja, sisanya kalian boleh jumpalitan, kayang, atau mungkin roll depan roll belakang untuk membuktikan kalian siswa unggulan di pelajaran penjaskes.

Kemudian untuk buah tangan, ada baiknya membawa hal yang bermanfaat bagi orang Baduy, seperti: 
1. Sembako
2. Lilin
3. Terasi
4. Ikan asin (orang Baduy ga suka sarden, ga boleh makan kambing, yang haram juga kalau bisa tidak, itu kasih saya aja) btw Ikan asin peda itu semacam makanan mewahnya nya orang Baduy dalam.
5. Kalau bisa hindari kasih makanan kimiawi apalagi rokok, mereka dilarang

Teman saya Yesu setelah berpikir dengan keras, akhirnya dia bawa martabak. Ya, martabak saudara-saudara. hahhaa, dan ternyata orang Baduy suka. Karena mereka tak pernah buat kue-kuean disana. Teman saya yang lain Andre bawa buah anggur, dan mereka suka sekali. Soalnya ga ada pohon anggur disana.

Untuk uang, saya sebenarnya terserah teman-teman. Tapi kalau saya lebih baik nraktir mereka makan, kasih sembako, dan beli kerajinan tangan yang mereka jual tanpa nawar, daripada kasih uang. Sebab saya takut kalau dibiasaiin mereka jadi mata duitan. Tapi menurut saya terserah kawan-kawan. Kalau menurut kalian bawa sembako susah, atau cinderamata yang dibeli juga ga seberapa, uang juga tak apa-apa. Mereka tak menampik butuh uang. (sesuai suara hati teman-teman).

Nah terakhir saya ingatkan, namanya wisata budaya yang kalian akan dapatkan adalah pengetahuan dan wawasan tentang suku Baduy, bukan soal pemandangan alam (itu bonus). Jadi atur ekspetasi kalian dan jangan lupa untuk mengakrabkan diri dengan orang Baduy. Mereka sangat terbuka, ramah, humoris, dan gak sungkan menjawab segala pertanyaan kita yang bahkan aneh bin di luar nalar (pasti mikir saya dkk nanya apa ya? hahaha).

Patuhi peraturannya, hormati orangnya, dan jangan jadi pejalan yang berjiwa alay. Cukup yang nginjek bunga aja yang alay, kamu jangan #eh. Selamat mengetahui keindahan Indonesia.

Salam cilukba, muaach. *ala Maissy centil. Eh doski apa kabar ya?


Maacih yah kalian cmuah udah mau baca blog 4Qyuuh kayak bapak ibu yang nunggin 4Qyuuh

Foto by: Yesu dan Johan