Pages

Sabtu, 01 Oktober 2016

Sedikit Gambaran Pendidikan di Papua



Bicara soal Papua memang kompleks. Isu Papua seperti timbul dan tenggelam di Indonesia, tak ada penyelesaian atau solusi yang tuntas untuk Papua. Saya tak akan bicara soal politik yang panas di Papua atau gerakan lain-lainnya. Karena saja jelas awam soal itu.

Tapi mari bicara soal pendidikan di Papua, yang sekilas saya lihat saat perjalanan saya bersama WWF Indonesia bulan Juni 2016. Walau sepintas, tapi begitu membekas untuk saya.

Di Papua, tepatnya di daerah kepulauan Yapen ada sekolah, tapi ya seadanya. Saya sebut seadanya karena jelas jauh dari kata layak. Kunjungan pertama saya ke sekolah SDN Aisau, distrik Rambausi, Kabuapten Kepulauan Yapen. Sekolah ini terletak di sebuah pulau, yang mana satu-satunya moda transportasi adalah lewat jalan laut alias kapal.

Bersama tim WWF bidang pendidikan, saya datang pada hari Selasa (13/6/2016). Saat itu sekolah diliburkan dalam rangka pasca ujian sekolah. Hanya ada tiga ruang kelas untuk enam tingkatan kelas. Satu kelas kemudian disekat dibagi dua menggunakan papan tipis yang dapat digeser.


Jadi saya tak terbayang seperti apa rasanya belajar di satu kelas yang dibagi dua, dengan tempat duduk dan meja yang tak jelas dimana rimbanya. Dalam satu ruang kelas hanya ada sekitar empat meja, dan kurang dari sepuluh bangku.

Saya kemudian berkeliling melihat fasilitas sekolah. Jangan mengharapkan fasilitas layaknya sekolah dasar di Pulau Jawa apalagi di Jakarta. Ruang guru dicampur dengan perpustakaan. Dengan buku-bukunya yang sudah layu.


Lantai tiap ruang disekolah hanya dilapisi semen, tak ada ubin atau keramik. Sedangkan lantai di ruang guru yang merangkap perpustakaan itu becek, rembesan air dari atap yang bocor. Poster peraga untuk pendidikan sudah menguning dimakan usia dan cuaca. Hanya ada tiga poster sepenglihatan saya, tentang tata surya.


Bagian paling buruknya adalah wc sekolah. Ada dua wc sekolah yang tak lagi berfungsi. Ketika saya buka pintu wc yang sudah bolong dan papanya terkelupas saya terkejur melihat kloset yang sangat kotor, juga bak air dari semen yang tak ada air. Jelas kalau saya murid sekolah tersebut, saya lebih memilih buang air di rumah atau halaman belakang sekolah yang penuh semak dibanding disana. Aneh tapi nyata memang, karena sekolah harusnya jadi tempat mengajarkan anak-anak untuk melatih MCK dan higienitas.





Tak hanya di Desa Aisau, tim WWF Indonesia dan saya juga berkunjung ke SDN Asai, Distrik Windesi, Kab. Kepulauan Yapen. Disini keadaanya lebih baik, karena Desa Asai berda di pulau yang lebih besar daripada Desa Aisau. Namun tetap saja, keadaan sekolahnya berhasil membuat saya termangu.

Saat saya datang, anak-anak sedang bermain di halaman depan sekolah. Tanpa alas kaki dan seragam sekolah yang jelas tak seragam (seragamnya campur-campur, beragam warna dan nampak kesempitan). Anak-anak mereka mengampiri saya, membuntuti saya seperti malu tapi penasaran.

Saya kemudian bertanya "Kok tidak belajar di kelas?" Mereka hanya tersipu malu, hanya tersenyum. Hingga akhirnya saya tahu kalau satu-satunya guru mereka sedang diwawancara oleh tim WWF Indonesia untuk keperluan data sekolah. Dari enam kelas, hanya ada satu guru yang bertugas hari itu. Diakui sang guru, satu guru lainnya sedang ke kota untuk mengurus keperluan sekolah, satu guru lainnya sedang cuti.



Fasilitas sekolah SDN Asai memang lebih baik, ada meja dan kursi yang lengkap, dengan bahan pengajaran yag lebih memadai. Tapi sekali lagi, sungguh tak adil jika saya membandingkan sekolah ini dengan sekolah di Pulau Jawa.

Dari obrolan saya dengan anak-anak dan orang tua murid, saya tahu kalau menempuh pendidikan di Papua bukanlah hal yang mudah. Anak-anak yang lulus SD rata-rata harus ngekos untuk belajar di SMP yang biasanya ada di pulau lebih besar.

Banyak juga pulau yang tak memiliki sekolah sama sekali, hingga anak-anak akan membolos sekolah karena perjalanan sekolah yang lompat pulau seperti membuang waktu. Orang tua juga banyak yang melarang anaknya bersekolah dan lebih baik menjadikan anak sebagai pembantu pekerjaan baik itu di ladang ataupun untuk rumah tangga.

Saya ingat Pilus, anak berusia 10 tahun yang gemar belajar, tapi sampai usia itu dia tak diperbolehkan sekolah oleh orang tuanya. Saya tanya mengapa tak sekolah, Pilus hanya diam dengan tatapan penuh arti. Saya tanya apakah ia mau belajar, ia  mengganguk kencang. Sambil tersenyum lebar ia menggoreskan pensil bertuliskan namanya P-i-l-u-s, belajar mencontoh dari goretan pensil saya.

Dari pengalaman tersebut, saya juga menyadari anak-anak Papua ini cerdas. Mereka cepat menangkap materi pembelajaran yang diajarkan. Mata mereka penuh penasaran saat melihat orang luar pulau seperti saya, Bibir mereka terus tresenyum memperlihatkan giginya yang putih, namun lidahnya kelu, malu bicara dengan orang asing.



Mereka gemar membuntuti saya. Memanggil saya kakak bergigi kalung (mereka sebut kawat gigi saya 'gigi kalung') dan berebut ingin melihat handphone saya yang dapat memotret mereka.

Maklum, di desa mereka sama sekali tak ada gadget. Untuk apa gadget, listrik saja tak ada di desanya. Menelusuri pulau-pulau dan masuk ke desa di pulau tersebut, saya seperti masuk ke dalam mesin waktu, kala Indonesia jauh belum merdeka. Bahkan saya pikir lagi sebelum merdeka, sebagian Pulau Jawa juga sudah ada listrik. Tahun 2016 listrik di Papua masih jadi hal yang luar biasa mewah.

Kalau benar Pulau Cenderawasih ini kaya dan paling kaya se-Indonesia kemanakah kekayaan mereka? Kalau benar negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya, kemanakah negara? Kalau benar pendidikan adalah hak dasar sebagai warga negara Indonesia, apakah masyarakat Papua masih mau menyebut dirinya warga negara Indonesia?

(Tulisan ini jelas tak dapat menggambarkan pendidikan di Papua secara keseluruhan, karena saya hanya berkunjung ke sekolah di beberapa pulau daerah Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Semoga ada kesempatan untuk mengunjungi sekolah-sekolah lain di daerah Papua dan Papua Barat)

0 komentar:

Posting Komentar