Pages

Senin, 26 Februari 2018

25 Tahun Hidup Akhirnya Coba Solo Traveling



Hei kamu! (hatiku dag dig dug saat aku melihatmu) Apa kabaaaar? *sok a6* Awal Februari saya untuk pertama kalinya (akhirnya) travelling sendirian. Sebenarnya sudah lama ingin coba solo travelling nazar musdalifah saya sebelum lewat 25 tahun saya harus coba jalan-jalan seorang diri.

Tujuan solo travelling saya di awal itu sebenarnya Yogyakarta (saya pernah dilirik aneh sama teman yang lahir dan besar di Yogyakarta pas ngomong ini). Namun gak kesampaian, karena tahun kemarin saya justru dua kali ke Yogyakarta ramai-ramai sama teman yang asyik asyik.


Nah tibalah di suatu hari bulan Januari, ada PR yang chat saya kalau saya menang togel lomba tulisan, yang mana tulisannya sudah lama dan saya lupa. Hadiahnya tiket ke Bali PP Batik Air. Senanglah hati awak. Cuma saya bingung, saya sebenarnya harus ke Bali dua kali dalam rentang waktu dekat sama tiket hadiah itu. Saya tanya bisa dimundurin tanggalnya atau kasih keluarga?


Kata PRnya bisa kasih keluarga, tetapi mama saya dikasih nggak mau, katanya garing amat pergi sendiri :') Sayang tanggalnya juga tidak bisa mundurin. Padahal niat saya sudah matang, karena nggak ada yang mau, tiketnya bakal saya mundurin ke Maret. Pakai untuk transit ke Sumba dari Ngurah Rai. Apa boleh buat, mungkin ada waktu yg lebih baik ke Sumba.


Lantas saya pakai itu tiket dan tujuannya adalah Ubud. Kenapa Ubud? Ada banyak alasannya, sebanyak alasan netizen yang sering bilang berita media beneran hoaks *lah kok dendam


Ini alasannya:


1. Pernah mampir di Ubud, tetapi belum pernah nginap di sana. Suka aja suasana di sana, tenang, nggak banyak bule pakai kaos Bir Bintang.


2. Ubud itu nggak luas tetapi padat, banyak obyek wisata dan kafe yang bisa dikunjungi jalan kaki. (Rahasia umum kalau saya nggak bisa mengendari kendaraan selain otopet. Sepeda aja oleng ya ampun. Terus sekarang nggak jadi rahasia umum lagi karena diungkap dengan mureh)


3. Ingin nonton tarian khas Bali (Saya suka banget nonton tarian daerah. Bahkan dangdut koplo saya juga suka nontonnya, terutama nonton kelakuan penontonnya)


4. Ingin mencari pangeran Ubud. Impian saya menjadi Happy Salma junior (ini halusinasi kebanyakan ngirup knalpot).


Jadi akhirnya sampailah saya di Bali 1 Februari 2018. Sampai di Ngurah Rai saya ke Mal Galleria DFS trus naik shuttle bus Kura-Kura ke Ubud selama dua jam.


Nah di perjalanan pergi ini saya ketemu kerluarga turis China Mainland (China daratan, RRT) terdiri dari ibu, bapak, dan anak. Selama dua jam dia ngomong dengan bacot luar biasa, ingin rasanya menadah tabung reaksi ke bawah mulutnya. Untuk meneliti dari mana datangnya kemampuan bacot tersebut.


Pas pulang tanggal 3 Februari 2018 mau pulang, eh saya semobil lagi! Saya langsung salah tingkah dalam hati komat kamit, percaya kalau karma itu terjadi sangat dekat. Untungnya nggak tahu kenapa mereka diam seperjalanan dari Ubud ke Denpasar *sujud syukur.


Di sisi lain saya salut sama keluarga ini. Turis China Mainland terkenal nggak berani pergi sendiri karena kendala bahasa. Dengan bahasa inggris yang seadanya, keluarga ini berani dan bisa pergi sendiri tanpa tur. Keberanian yang patut dicontoh.


Lanjut! Solo travelling apa yang saya perbuat?


Ya kayak lagu Caca Handika, "Makan, makan sendiri. Tidur, tidur sendiri". Sebenarnya saya sudah lama biasa dengan konsep kesendirian. Apalagi dulu lama sendiri (lah napa curhat dah). Saya mulai terbiasa sendiri sejak jadi jurnalis online, karena dituntut mandiri kemana mana sendiri dan cepat dalam mengirim berita (yang mana bisa duduk di resto atau pojokkan tembok sendiri buat ngetik). 


Buat banyak orang makan sendiri, nonton sendiri, tidur sendiri di hotel mungkin terasa aneh. Buat saya melakukan aktivitas sendiri itu sebenarnya tanda kita menerima diri sendiri. Masa se-enggak nyaman itu dengan diri sendiri sampai nolak beraktivitas sendiri? Cuma kalau ada teman, tetap saya milih beraktivitas sama teman. (Serius soalnya saya bukan Hachi anak yang sebatang kara...)


Nah dari solo travelling ini saya banyak mengambil hikmah dan mengenal diri sendiri juga. Misal ternyata saya anaknya malas bergerak, suka banget tidur (ini kayaknya teman dekat dan keluarga, juga sudah tahu semenjak saya SD).


Oleh karena alasan itu juga saya merasa nggak gitu cocok solo travelling. Kalau nggak ada rekan perjalanan, saya kayak nggak ada motivasi. Nggak ada rasa nggak enakan harus jalan karena ada kawan yang mau jalan. Saya juga sering punya pikiran random yang suka banget jadi bahan omongan ke teman. Jadi pas nggak ada teman diskusi random itu saya merasa kehilangan. (Catatan temannya harus teman dekat, kalau sama orang baru kenal saya biasanya lebih suka diam).


Saya juga belajar kalau ternyata saya suka banget lihat hal yang berbau kebudayaan, motret hewan (saya lebih suka motret primata daripada manusia), belajar mengatur waktu, lebih terencana, sekaligus menikmati saat yang sedang terjadi.


Solo traveling juga 'memaksa' saya buat mau kenal dan lebih ramah sama pejalan lain. Saya beruntung banget bisa ketemu pemilik dan staf penginapan yang ramah, ketemu abang gojek yang kasih nomor hp, sekiranya nggak dapat gojek untuk balik dari tengah sawah entah berantah waktu malam, ketemu kakek dari Inggris yang tinggal di Jakarta lima tahun, terus dia rekomendasin ke pura terpencil, dan petugas di Monkey Forest yang antusias diajak ngobrol.


Setiap momen dan pertemuan itu adalah salah satu bentuk syukur sih ya, nggak dalam travelling tetapi dalam hidup juga.


Nah di akhir saya menyimpulkan rata-rata orang yang travelling itu sebenarnya dilandasi dua hal. Dia mencari atau dia sedang melarikan diri.


Saya melarikan diri waktu di Banda Neira, di Ubud saya mencari. Mencari jati diri maunya apaan, soalnya banyak bener maunya. Darah muda gitu deh kalau kata Bang Rhoma.


Coba kamu tanya sama diri sendiri. Perjalanan selanjutnya kamu mau mencari sesuatu atau melarikan diri dari sesuatu?


CAP-CUS *saya lupa foto diri sendiri waktu solo travelling, satu-satunya foto selfie di Monkey Forest yang gagal ini



Monyetnya waspada, pasti kena ajaran Bang Napi. Waspadalah! Waspadalah!


Once in a year go someplace you've never been berfore-Dalai Lama


Kalau duitmu masih cukup dan masih single, travellinglah sesering mungkin-Silvi 

1 komentar:

Claude C Kenni mengatakan...

Setuju banget, Sil. Mumpung masih muda, harus banyak-banyak melihat dunia. Not all those who wander are lost. And sometimes, when we are lost, we found something else. Sometimes, we also found ourselves.

Favorite quotes gua soal traveling : The world is a book and those who do not travel, read only a page.

Posting Komentar