Pages

Minggu, 05 April 2015

Kotak-Kotak Busuk

Beberapa waktu lalu, saya sempat marah, dan akhirnya meledak di akun sosial path. Saya memang bukan tipe pemarah yang dengan mudah melampiaskan. Ujung-ujungya emosi hanya disalurkan lewat tulisan atau tangisan. Dalam posting path tersebut, saya menulis:

"Rasiskah saya kalau terkadang saya marah dengan etnis saya sendiri?
Kata rasialisme muncul, tapi jarang berkaca. Sendiri tak suka toleransi. Sendiri memisahkan diri. Sendiri mengkotakkan diri. Kemudian larut dalam orientasi untung, menggerutu saat bersama, manja saat digabung. Padahal kita minum air Indonesia. Tidur ditanahnya dan hirup udara yang sama. Lantas apa yang membuat kita beda? Pola pikir yang kadang terlalu sempit dan kaku seperti kolor yang salah beli ukuran.

*Abis dizolimi sama nci nci di busway."

Sebenarnya kemarahan tersebut karena masalah yang sepele. Sepele buat saya, entahlah buat nci nci itu. Berapa sering dari kalian sekalian yang naik kendaraan umum, kemudian kaki kalian terinjak oleh orang lain, atau terdorong oleh orang lain. Buat saya, itu resiko dari naik kendaraan yang disebut UMUM. Kalau ingin privasi lebih, maka ada baiknya menggunakan kendaraan PRIBADI bukan? Malam itu kebetulan saya tak sengaja menginjak kaki seorang perempuan tionghua berusia kira-kira 25 tahun. Cuma seujung jari kakinya, yang tak sengaja saya injak, karena ia tepat berdiri di depan saya yang sedang duduk, dan mau berdiri karena halte tujuan sudah sampai. Belum sempat minta maaf kemudian dia mulai menyinyir saya, dengan teman yang kebetulan ada di sebelah saya. Saya urungkan niat saya minta maaf, bukan masalah gengsi. Masalahnya saya sudah kehilangan niat mendengar kata-katanya yang menyakitkan telinga. Buat saya dalam kondisi biasa, masalah seperti itu sebenarnya sangat sepele, dan biasanya tak pernah terpikirkan sama sekali. Kebetulan hari itu, saya sedang menjalani hari yang tak begitu baik. Terjebak macet berjam-jam, dan berakhir ketinggalan sesuatu yang harus diperbuat. Lelah mental dan fisik ternyata begitu menyakiti emosi. 

Kemudian lewat kejadian tersebut, bagai lorong waktu, segala pandangan saya mengenai etnis saya sendiri, yakni Tionghua, mulai terbeseit satu persatu. Kalau boleh bercerita, saya adalah anak ketiga dari orang tua yang berasal dari daerah Bangka dan keturunan Tionghua. Meski begitu, keluarga saya terbilang unik. Wajah dan perawakan ayah saya lebih menyerupai suku Batak ketimbang Tionghua. Ibu saya, berwajah oriental, namun memiliki mata yang besar. Jadilah kami tiga bersaudara, sama sekali tak ada yang memiliki wajah layaknya seorang Tionghua. Sering saya salah dikira orang, mengenai asal etnis saya. Bayangkan, saya pernah disebut dari berbagi daerah di Indonesia, seperti Sunda, Palembang, Jogja, Bali, Manado, Batak, dan juga Tionghua tentunya. Tapi seringkali orang akan terkejut ketika mengetahui kalau sebenarnya saya keturunan Tionghua. 

Punya wajah Indonesia atau saya lebih suka menyebutnya Internasional :P berstatus tionghua, mengantarkan saya ke berbagai pengalaman unik. Salah satunya adalah proses penerimaan lingkungan sekitar atau adaptasi pergaulan. Dari kecil, saya tahu persis hidup di lingkungan orang tionghua. TK-SMP saya habiskan di sekolah swasta dengan ajaran agama Katolik dan Kristen yang cukup kuat, Kemudian dilanjutkan dengan SMA yang agak lumayan anomali bagi kebanyakan orang. Bertatus Negeri, terletak di daerah Glodok, dengan komposisi siswa Tionghua 90 persen disekolah tersebut. Dari SMA ini saya mulai sadar akan adanya toleransi dan perbedaan di masyarakat. Pernah salah satu teman saat di SMA berkata pada saya, "Sil, saya kira pertamanya kamu bukan orang Chinese?" kemudian saya bertanya balik "Looh, kok kemudian tahu?" ia menjawab "Iya tahu dari gerak-gerik dan cara kamu bicara," Buat saya saat SMA mendengar hal tersebut, yang terbesit adalah perasaan sedih. Sedih karena ternyata wajah saya benar-benar tak seprti Tionghua, dan juga sedih dengan berpikir "Kalau saya bukang tionghua, lantas tak ada yang mau main dengan saya?" 

Naif memang, tapi itu adalah pikiran anak SMA di usia 16 tahun. Sempat juga saya curhat pada sahabat saya, mengenai wajah 'internasional' ini. Menurut teman-teman saya, harusnya saya bersyukur. Karena mereka justru tak mau memiliki mata sipit, dan kulit terlalu putih. Mereka ingin seperti saya katanya. Lama kelamaan, saya menyadari betul keuntungan memiliki wajah internasional ini. Salah duanya adalah terhindar dari stereotipe, dan rasialisme yang di jaman modern ini sayangnya masih banyak di masyarakat. Saya dengan mudah bergaul dan membaur diantara lingkungan dengan orang-orang asli Indonesia. Tapi lucunya, saya justru memiliki kesulitan saat bergaul dengan etnis saya sendiri, Tionghua. 

Masuk perguruan tinggi, lagi-lagi saya berkuliah dimana 70-80 persen mahasiswanya adalah tionghua. Dari sana saya seperti terjun langsung, lebih dalam mengamati bagaimana peran etnis saya sendiri dalam lingkungan yang lebih luas. Maafkan saya kalau ini terlalu subjektif. Tapi saya melihat betul kalau sebenarnya ada tindakan rasialis di dalam kaum tionghua sendiri. Saya mengamati dan merasakan, bagaimana ketika seorang di luar etnis tionghua berusaha bersahabat dengan tionghua. Jangankan begitu, sayapun tak jarang mendapatkan perlakuan seperti kecurigaan, atau tanda tanya besar. Kemudian, pada akhirnya ketika saya amati lebih lanjut lagi, di kampus saya, mahasiswa golongan Indonesia asli, bukan tionghua juga membentuk kelompoknya sendiri, seakan kedua golongan ini begitu 'malas' dan segan untuk bercampur. Padahal apa sih bedanya kita? bayar uang kuliah sama, belajarnyapun juga itu-itu saja. 

Saya sendiri mengelompokkan diri, tapi tak memilih teman. Saya memang berkelompok dengan teman yang punya satu kesamaan. Sama-sama teman SMP, sama-sama teman UKM, atau sama-sama teman Jurnalistik. Pengalaman selanjutnya mengantarkan kepada betapa tertutupnya lingkungan Tionghua bagi orang luar. Seakan-akan ada balon transparan dalam lingkungannya. Sebenarnya inilah yang membuat pola pikir beberapa orang jadi begitu naif, dan sempit. Karena hanya dari dari sudut pandangn pergaulan sesama tionghua yang dilihat. 

Bersyukurnya, saya aktif dalam kegiatan UKM Radio, dimana perbedaan etnis sama sekali tak jadi masalah bagi kami. Tradisi dari senior baheula, yang melarang adanya penyebutan 'ci' atau 'ko' dalam UKM kami, dan harus 'kak'. Saya juga lumayan aktif di organisasi luar kampus, misalnya persatuan radio kampus sejakarta, dan organisasi kepemudaan skala nasional. Bahkan dalam organisasi kepemudaan skala nasional, hanya sayalah satu-satunya tionghua dari banyaknya volunteer. Pernah saya bertanya kepada teman yang merekrut saya. "Kamu tahu dari awal saya Tionghua?" jawabnya "ya tahulah" sambil tertawa, Anehnya lagi saya malah sama sekali tak dibedakan, atau "dicurigai "seperti saya bergaul awal di lingkungan tionghua yang baru. 

Belajar toleransi, dan pengamatan kemudian berlanjut lagi di dunia kerja. Dunia kerja rupanya lebih keras bagi penggolongan etnis. Beruntungnya saya, saya bekerja di perusahaan besar yang tak hiraukan etnis. Pernah saya mengobrol dengan beberapa teman yang bicara "Kalau perusahaan ini tionghua lebih gampang masuk," atau ada lagi "Jangan disana, susah maju tionghua mah" paling miris ketika saya mengobrol dengan teman Indonesia asli. Ia bercerita bahwa tadinya telah keluar, sekarang masuk lagi ke perusahaan kami yang ia katakan tak ada tandingan kalau soal lingkungan kerja. Saya bertanya, "mengapa?" Ia bilang "Ada banyak sebab. Salah satunya tidak nyambung dengan bidang saya," Saya tanya lagi "Lalu" Ia jawab sambil ragu melihat saya. "Lingkungannya," dengan mudah, saya yang sudah tahu perusahaan tersebut menjawab, "Rasis yah?" dan dia hanya mengganguk. Rasa miris dan malu saya muncul begitu saja mewakili etnis saya sendiri. Sadarkah, ketika berbicara keadilan dan rasialisme tionghua di Indonesia, sendirinya kita juga mengelompokan diri, dan rasis terhadap golongan di luar tionghua?  

Apa alasannya kita mengelompokan golongan, etnis, atau paling parah agama? Sehebat apa golongan dan identitas kita sehingga dengan berani membuat perbedaan? Saya rasa adanya perbedaan diciptakan agar manusia dapat banyak belajar. Belajar menerima, Belajar keindahan dalam bentuk lain, belajar bahwa tak sendiri di dunia, dan harus menghormati perbedaan tersebut. Tapi nyatanya kita manusia begitu lancangnya. Lancang mengatasnamakan golongan sendiri jadi yang paling bagus, baik, dan diatas segalanya. Betapa muaknya saya melihat sikap etnosentrisme khususnya di kalangan Tionghua sendiri. Jika ada yang bilang "Belajar dari pengalaman sil" Saya tahu, saya belajar sejarah dimana kerusushan rasialis di Indonesia, banyak yang memakan nyawa para tionghua. Mulai dari pembantaian tionghua oleh VOC tahun 1740. Kemudian kerusuhan rasilais tahun 1960an di beberapa daerah Indonesia sampai kerusuhaan tahun 1998, dengan penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis tionghua. Tapi mau sampai kapan kita menjadi etnis yang pendendam? Sejarah jangan dilupakan. Dari sejarah pahit tersebut banyak yang dapat dipelajari. Tetapi bukankah manusia harus terus menatap ke depan? kalau tidak sampai kapan dendam terus membara? sampai anak-cucu-buyut kita? Kapan negara yang sudah merdeka 70 tahun ini sungguh merdeka dan maju, kalau penduduknya saja masih berpisah dan mendendam satu sama lain. 

Intinya, persetan dengan rasialisme atau etnosentrisme. Kalau tidak ada hal tersebut, peradaban jauh lebih baik. Tidak ada ISIS dengan obsesinya merubah dunia jadi satu agama, tidak ada Hitler dengan bangganya memusnahkan ras lain, tidak ada politik apartheid di Afrika yang hanya memandang warna kulit, tidak ada perang-perang lain di dunia, yang mengatasnamakan kenarsisaan dan kebanggan yang salah dari satu golongan, kelompok, atau negara. 

1 komentar:

sherlina halim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar