Pages

Minggu, 26 April 2015

Resensi Buku dan Pandangan Pribadi Buku 'Catatan Seorang Demonstran'

Resensi Buku ‘Catatan Seorang Demonstran’

Judul : Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Jumlah Halaman: 353
Penerbit: LP3S



Catatan Seorang Demonstran adalah buku harian seorang aktivis bernama Soe Hok Gie yang lahir pada tahun 1942 dan meninggal pada tahun 1969 (Era Revolusi-Soekarno). Dalam buku ini berisikan catatan dari buku harian Soe Hok Gie yang dimulai sejak ia duduk dibangku SMP sampai dengan lulus dari bangku kuliah. Sosok Soe Hok Gie nampak jelas lewat tulisan dan pemikirannya yang berani serta apa adanya. Dari catatan hariannya ini, Soe Hok Gie tergambar sebagai sosok yang humanis, suka bergaul, dan  memiliki kepedulian tinggi baik bagi orang sekitar maupun negaranya. Buku ini sangat menarik untuk dibaca khususnya bagi generasi muda. Dari ‘Catatan Seorang Demonstran’ banyak hal yang dapat dipelajari dan ditanamkan dalam diri seseorang. Luangkan waktu sejenak, baca dan telaah buku ini. Buku yang menginspirasi.


sampul depan Catatan Seorang Demonstran


Pandangan pribadi: (Subjektif tentunya)

Sudah lama saya mengincar buku ini. Dari jaman kuliah sampai akhirnya sekarang saat kerja, saya baru mendapatkan buku 'Catatan Seorang Demonstran'. Awal mula saya tertarik membaca buku ini justru dari kutipan-kutipan dari kalimat Soe Hok Gie yang tersebar di media sosial. Kalimat tersebut bagai menyihir, menarik untuk membaca bukunya yang lebih lengkap. Konon kalau tak salah dengar, buku ini bagai kitab suci seorang mahasiswa di Indonesia. Bertahun-tahun mencari, akhirnya saya mendapatkan buku ini. Sayangnya bukan buku asli (Maaf Gie dan penyusun). Buku asli 'Catatan Seorang Demonstran' ini terbilang langka di pasaran, yang bajakanpun hanya muncul permusim. 

Rasa penasaran dan penantian selama bertahun-tahun tersebut sungguh terbalaskan. Buku ini jelas 100 persen buku yang berbobot dan mendidik pembacanya (lagi ini subjektif). Seperti yang saya sebutkan dalam resensi buku, sosok Gie yang pemikir sekaligus penggiat/ aktivis, sebenarnya jadi paket lengkap bagi anak muda untuk belajar dan mengenal dirinya lebih dalam. Buku ini juga tak melulu soal politik. Sesuai nama sub bab nya 'Buku, Pesta, dan Cinta' Gie juga banyak bercerita mengenai perasaan-perasaannya sebagai anak muda yang tentunya haus akan cinta dan hiburan. 

Soal sosok Gie, rasanya saya sudah jatuh cinta. Sungguh kalau ada laki-laki seperti Gie di jaman sekarang, perempuan mana yang tak jatuh cinta. Sosok intelek, pemberani, pembela yang lemah, dsb. Namun Gie sendiri bilang dalam bukunya, kadang terlalu pedih bagi dia ketika dieluhkan sebagi seorang pahlawan, kemudian hanya sebatas itu dan nyatanya tak ada yang mau ikut campur dalam kehidupan pribadinya. 

Dari buku ini, anehnya saya banyak belajar soal cinta (selain soal kehidupan). Saya banyak merenung kalimat-kalimat Gie soal cinta. Karena soal buku dan pesta, yakni dunia kuliah dan kebetulan politik dalam organisasi kampus, saya sudah lewati. Gie banyak membuka batin lewat persoalan yang ia hadapi soal cinta dan dituliskannya di buku harian. Misalnya saja saat ia menuliskan tentang masalah emosional yang dihadapi pria dan wanita. Gie menuliskan bahwa rata-rata pria tak cukup dengan afeksi dari seorang wanita, dan wanita punya masalah insecure. Tak pernah yakin bahwa kekasihnya hanya berikan perhatian ke dia. Percaya atau tidak, lewat analisis langsung dan bertanya pada teman. Hal ini sungguh terjadi khususnya pada anak muda. Soal ini solusi dari Gie tak diberikan, dan saya mengobrol dengan teman pria juga tak mendapatkan solusinya.  Kata teman saya ini bukan soal 'win win solution', tapi saya masih merenung 'tak adakah titik temunya?'

Ada lagi ketika Gie menulis mengenai teori permen karet. Dimana ketika seorang khususnya pria putus cinta, ia akan melampiaskannya pada 'permen karet'. Entah itu pelarian yang akhirnya berakhir ke pelacuran, atau jika yang lebih punya nalar akhirnya berlari pada teman perempuan, dan curhat sampai perasaan membaik dan mendapatkan afeksi dari teman perempuan. Kemudian pergi saat 'manisnya' telah habis. Dan gilanya saya baru sadar saya dijadikan permen karet oleh lebih dari satu orang pria karena baca buku ini. Hahahhaa, agak miris dan pedih. Namun positifnya saya jadi belajar menjadi pendengar yang lebih baik, dan dapat mengerti kaum pria lebih baik. 


Kemudian yang saya paling camkan adalah ketika Gie menulis soal 'apa yang dicari pria dari sosok wanita'. Gie mengatakan lewat obrolan ia dan temannya, bahwa pria mencari wanita yang bisa memenuhi hasrat intelektual dan juga seksual (afeksi). Lewat tulisan tersebut, saya sungguh berkaca. Apakah saya sudah dapat memberikan kedua hasrat tersebut. Syukur kalau satu. Pada akhirnya saya rasa memang perempuan cerdas yang penuh kasih sayang dibutuhkan oleh sosok seorang pria. Tapi tak tahu juga ya. Ada juga pria yang tak peduli seberapa intelek pasangannya. Ada juga yang mencari pemuas afeksi atau hasrat seksualnya lewat wanita lain. Hati manusia, bukan hanya kaum perempuan, sebenarnya sangatlah kompleks.

Akhirnya buku ini memang membuat pembacanya menjadi merenung. Seberapa berartikah dia bagi orang lain (Gie itu banyak memberi manfaat bagi orang lain semasa hidup sampai telah tiada). Kemudian, seberapa baik kita sebagai seorang warga negara, mahasiswa, anak, teman, kekasih. Banyak tulisan Gie soal pandangannya yang kritis dan menarik terhadap etnis dia sendiri ( saya)tionghua. Soal peran menjadi anak, dan kasih sayang ibu yang sulit dimengerti, soal setia kawan, dan cinta yang perlu penalaran. Banyaaakkkkk pelajaran. Intinya baca buku ini, terutama jika kalian masih muda. Belajarlah dari Gie, merenunglah, dan berani melakukan.




1 komentar:

sherlina halim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar