Pages

Kamis, 23 April 2015

Dilema Pekerja Media di Indonesia

Soal pergolakan batin saya dimana berita yang mengeksploitasi perempuan (berunsur payudara dan bokong) yang lebih laku, soal pembaca Indonesia yang lebih suka membaca berita kontroversial,

Jawabannya akhirnya di dapat seiring satu tahun kerja. Problematika seorang wartawan online sebenarnya adalah kuota berita perhari, target jumlah pembaca, dan konten berita. Ketiganya berkorelasi, ketiganya begitu rapuh soal akibat yang diberikan. Efeknya mendidik atau tidak. Negatif atau Positif, tak ada ditengah-tengah.

Intinya kuota dan target jumlah pembaca adalah tanggung jawab wartawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, konten berita lebih kepada pesan yang ingin disampaikan oleh wartawan dan tanggung jawab kepada pembaca atau khalayak umum. Beberapa media seringkali 'mengobok-obok' konten berita ini. Hingga akhirnya wartawan cuma jadi sapi yang dicocok hidungnya, hilang semua idealis yang dibawa saat mulai kerja.

Masalah saya beda. Masalah saya soal mengikuti selera pembaca Indonesia yang entah mengapa masih begitu berkembang pemikirannya. Soal pergolakan batin diatas benar terjadi. Soal pemenuhan kuota berita perhari, soal tanggung jawab target pembaca perbulan, dan akhirnya mempengaruhi konten berita.

Akhirnya senior di tempat kerja mulai bertanya "Sebenarnya mulai kemana arah berita tempat kamu?" kalimat tersebut bagai geledek di siang hari. Menyadarkan saya, memaksa saya berpikir mau kemana orientasi ranah saya menulis. Soal pergolakan batin, senior saya satu lagi berkata dengan nada menenangkan. "Sebenarnya semua kembali lagi ke individu masing-masing Sil. Mana yang mau dipilih. Jumlah pembaca atau konten berita yang disampaikan?"

Kesimpulannya yang saya tarik, media di Indonesia sebenarnya punya kesempatan untuk menciptakan khalayak masing-masing, yakni lewat konten yang menginspirasi dan mendidik. Masalahnya pergolakannya pasti cuma satu, jumlah khalayak yang agak menurun (drastis). Pada akhirnya banyak media kapitalis yang orientasinya untung tak peduli soal konten. Seakan-akan menyerah pada sifat khalayak mayoritas di Indonesia, yang gila sensasi lewat konten berbau seksual, slapstick, dan kisah dunia dongeng. Mau tidak mau inilah yang dihadapi berbagai media di Indonesia. Dimana mayoritas penduduknya masih minim pendidikan formal.

Akhirnya wartawan, seperti saya harus memilih 'siapa yang menciptakan siapa'. "Apakah saya mau menciptakan khalayak yang lebih berpendidikan, atau justru saya yang diciptakan oleh selera khalayak Indonesia pada umumnya? " Syukurnya saya masih boleh merenung dan memilih soal ini. Apa jadinya teman-teman di media tetangga, yang menyalahi batin atau idealismenya tiap hari menciptakan konten selera pasar. Semoga batinya ditenangkan akhirnya.



1 komentar:

sherlina halim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar