Dari banyaknya liputan yang gue jalani saat magang, ada satu liputan yang paling membekas. Yaitu liputan orang hilang ke Panti Tuna
Grahita (keterbelakangan mental) di Cengkareng bersama Mas Nur dan Yogi (teman
magang dari YAI).
Hari itu hari Jumat, Karena Mas Nur pakai baju koko, dan gue
sangat santai jalannya (biasanya gue jalan cepat abis,ngejar waktu). Rencananya
gue mau ngetem di studio. Belajar dari orang-orang studio. Sampai ketika itu
gue diajak Mas Nur ikut ke panti Tuna Grahita untuk liputan orang hilang. Gue jadi reporter, dan Yogi jadi Kameramen.
Biar dia yang ngawasin dan ajarin (biasanya dia liputan selalu sendiri,
reporter merangkap kameramen). Okelah siap sedia sip. Lalu kita cuss bersama ke
Cengkareng bersama Pak supir yang ternyata itu adalah hari pertamanya mengantar liputan berita (biasanya dia ngatar anak-anak inbox).
Gue uda pernah ke Panti asuhan dan panti jompo. Tapi Panti
tuna grahita benar-benar diluar bayangan gue. Saat itu semua anak panti sedang
ada di lapangan karena ada kunjungan dari ibu-ibu Polwan. Mereka menari dan
bernyanyi bersama. Nah ketika gue datang itu sudah di penghujung acara. Jadi
ketika ibu-ibu Polwan sudah selesai, Mas Nur langsung mencari ibu ketua panti
untuk minta izin liputan anak hilang. Ketika ibu-ibu Polwan sudah pergi,
anak-anak panti datangin gue, salim (mencium tangan) gue, menyapa, dan ada juga yg lansung
meluk. (yang paling lucu ada yang bilang minta seribu, lalu dikasih permen sama
Yogi. hahaha).
Anak-anak di panti Tuna Grahita ini rata-rata adalah
anak-anak hasil razia GePeng (Gembel dan Pengemis di Jalanan Ibukota. ada juga
anak yang pergi dari rumah, kesasar dan ga tau arah pulang (bukan butiran debu
ya). Pertama sampai panti reaksi gue dan Yogi sama. Yakni bengong. Ga pernah sama
sekali terlintas di pikiran gue
anak-anak jalanan keterbelakangan mental atau down syndrom. Sampai gue di panti
itu melihat banyaknya anak-anak tuna grahita. Yang entah bagaimana
dieksploitasi oleh sebagian orang untuk mengemis dan mengamen di jalanan,
dibuang oleh orang tua yg malu dgn anaknya yg keterbelakangan mental kejalanan atau yang paling parah dipekosa oleh orang dekat, atau orang yang mereka temui saat tersesat di jalanan. Tidak memungkiri banyak orang tua yg sayang
dengan anak tuna grahitanya, tapi karena kurangnya pengawasan (ekonomi rendah, orang tua harus sambil bekerja), anaknya hilang.
Ga pernah kebayang juga dengan Mas Nur, yg selalu sendirian
liputan wawancara mulai dari ibu ketua panti, anak-anak yg keterbelakangan mental,
dan menyorot aktivitas mereka. (Beliau uda kerja 23 tahun di SCTV). Banyak
pertanyaan yang gue lontarkan ke Mas Nur ttg pekerjaanya. Apakah ada yang
pernah berhasil dipertemukan antara keluarga dan anak hilang itu? darimana
anak-anak itu? Apa suka dukanya selama 23 tahun ini? Kenapa dia liputan
sendiri? Dan masih banyak lagi (kebiasaan gue setiap magang: wawancarai
wartawan). Dari ngobrol bareng Mas Nur, gue sadar banyak anak Indonesia dalam
kondisi yang super memprihatinkan. Anak jalanan, selain pendidikan, gizinya ada
1 lagi yang terlupakan. Kesehatan seksual atau reproduksi mereka. Entah berapa
banyak kasus pemerkosaan, sodomi, atau kawin (bukan nikah ya) dibawah umur yg terjadi pada
anak-anak jalanan yang luput dari perhatian kita sebagai masyarakat dgn ekonomi
dan keluarga baik-baik. Kata Mas Nur bukan masa depan mereka doang yang hancur.
Fisik, dan segalanya hancur.
Gambaran yang tidak pernah gue lupakan dari liputan
hari itu. Ketika waktu makan bersama anak panti Tuna Grahita. Mereka makan
bersama, dan bahagia, walau dengan lauk 1 telor rebus, dan kuah sayur asem. Seorang
anak panti bernama Fitri, sebelum makan dia berdoa tanpa disuruh oleh siapapun
dengan khusuk dan waktu yg lama. Bagaimana seorang
Fitri yg keterbelakangan mental bisa bersyukur atas makanannya yang sederhana
sedangkan gue dan mungkin kita semua dengan makanan yg berlebih berdoa dengan
kilat, atau kadang lupa berdoa sama sekali (malah motret-motret makanannya).
Lebih kerennya adalah para pekerja sosial Ibu-Ibu dan Bapak-
Bapak penjaga panti yang setia dan dengan sabarnya mengajari anak tuna grahita
belajar, membuat prakarya, melayani makan, membersihkan segala kotoran. Butuh
kesabaran super duper tinggi. Bayangkan menghadapi anak normal aaja tidak mudah, bagaimana menghadapi anak keterbelakangan mental.
Kebetulan pula hari itu ada seorang Bapak yang menjemput
anaknya yang berumur 5 atau 7 tahun ya (lupa, hehe) bernama Iqbal yang sudah hilang
selama 4 hari. Jadi anaknya ini keterbelakangan mental bicaranya cuma sepatah
kata dan tak jelas. Suatu hari dia main, trus ikut naik bus jurusan lebak
bulus, lalu diajak ngamen oleh anak-anak pengamen. Kemudian terjaring razia
gepeng oleh petugas. Ada keharuan ketika Iqbal yg tidak bisa bicara bertemu
ayahnya dan lansung berlari memeluk ayahnya.
Nah, dari sana ikutlah kami ber 3 (Mas Nur, gue, Yogi ) ke
rumah Iqbal untuk merekam pertemuan Iqbal Idengan neneknya. Disana neneknya menagis
ketika melihat Iqbal dan menceritakan kenapa iqbal bisa begitu (pas bayi Iqbal
sakit panas, dan penanganannya terlambat). Neneknya juga bercerita tentang kondisi Ibu
Iqbal dan keluarganya (1 hal ketika jadi wartawan yg sering gue dapat adalah curcolan
orang cyiin).
Terakhir ketika gue ke SCTV untuk mengambil nilai magang,
Mas Nur cerita kalau dari liputan itu ada 1 anak yang berhasil dipertemukan
dengan orang tuanya. Saat itu gue sadar kalau wartawan adalah salah satu
profesi mulia. Entah ketika berhasil mempertemukan keluarga yang terpisah, atau
ketika menjadi anjing pengawas (watchdog) pemerintahan Indonesia yg super
bobrok (kenapa super? Mahkamah Agung dan Gubernur aja korupsi makan uang rakyat,
iuuh), atau ketika menjadi penyampai informasi bagi seluruh masyarakat Indonesia,
agar melek globalisasi dan menanamkan kepedulian bagi negaranya sendiri.
Salam,
Silvita Agmasari
Seorang yg sampai sekarang masih punya impian jadi wartawan.
Doakan aku ya ! ( gaya benteng Takeshi)
2 komentar:
luar biasa sekali pengalamannnya ya :) sangat membanggakan
Posting Komentar